Dayah telah eksis
sejak zaman kesultanan. Terdapat banyak "daar" di masa lalu. Diangkat
dari hasil penelusuran Chairan M Nur dari Pusat Penelitian IAIN
ar-Raniry, inilah sejarah panjang dayah di Aceh.
Di masa
kesultanan Aceh, sistem pendidikan yang dikembangkan di Aceh pada
awalnya melalui pusat-pusat pengaji-an di mneunasah atau rumah-rumah,
lalu berkembang hingga berlangsung di 'rangkang' (semacam balai-balai
-red). Pengajaran paling awal dimulai dengan pengajian al-Qur'an dengan
lafal bacaan bahasa Arab yang mengikuti aturan-aturan ilmu tajwid.
Pada
setiap kampung di Aceh terdapat satu rneunasah yang di sana diadakan
pendidikan dasar bagi anak laki-laki. Gurunya adalah teungku imum
meunasah bersangkutan, dibantu beberapa orang lainnya. Di rumah teungku
imum pun diadakan pendidikan bagi anak-anak perempuan dan yang menjadi
gurunya adalah istri dari sang teungku imum.
Disamping
mengajarkan al-Qur'an, sebagian teungku imum juga mengajarkan
kitab-kitab Jawo (kitab berbahasa Melayu dengan aksara Arab). Untuk
tingkat pemula diajarkan seperti kitab Masailal Muhtadi (memakai sistem
tanya jawab, yang dimulai dari masalah tauhid, hukum yang terkait
masalah ibadah seperti salat dan puasa).
Selanjutnya diajarkan
pula kitab-kitab yang lebih tinggi, seperti kitab Bidayah, Miftahul
Jannah, Sirath Sabilal Muhtadin, Kitab Delapan, dan Majmu'. Bagi yang
sudaah pandai membaca kitab-kitab tersebut biasanya akan disebut malem
Jawo.
Tingkat pendidikan yang lebih tinggi lagi adalah dayah,
biasanya terdapat di dekat masjid. Tetapi ada juga yang beada di dekat
rumah teungku yang mempunyai dayah itu sendiri. Pelajarannya tentu
sudah meningkat pula, misalnya sudah mulai mempelajari pelajaran
sharaf; yakni pelajaran tentang pembahasan kata dari satu kata menjadi
beberapa kata sesuai kaidah-kaidah yang sudah disusun rapi dan
menghafalnya sekaligus. Pelajaran sharaf umumnya berguna untuk
mengetahui asal kata supaya dapat menyempurnakan kamus.
Setelah
itu baru dilanjutkan mempelajari nahu, yaitu tata bahasa Arab. Orang
yang sudah menguasai ilmu ini disebut malem nahu. Kitab yang dipakai
untuk itu dimulai dengan kitab Ajrumiyah, Mukhtasar, Muthmainnah,
hingga akhirnya Alfiyah. Setelah itu diajarkan fikih --- yakni
pelajaran mengenai hukum-hukum ibadat --- yang dimulai dengan kitab
Safinatun Naja, Matan Taqrib. Kemudian Fathur Qarib, Fathur Muin,
Tahrir, Iqna, Fathu al-Wahab, Mahally, Tuhfan, dan Nihayah. Baru
setelah itu diajarkan pelajaran tafsir al-Qur'an dan al-Hadits.
Lembaga
pendidikan dayah di Aceh sudah ada sejak awal berdirinya Kerajaan Islam
di Nusantara. Dayah-dayah tersebut tersebar di berbagai wilayah dan
sangat memegang peranan penting dalam penyebaran Islam ke berbagai
wilayah Nusantara.
Sebelum Belanda masuk, Aceh merupaka daerah
kerajaan. Kerajaan tersebut menganut sistem keberagamaan Islam,
sehingga pendidikan yang berjalan dengan sendirinya adalah pendidikan
yang bernuansa Islam. Tempat pendidikannya dimulai terutama di
meunasah, rangkang, dan dayah.
Dayah-dayah yang tersebar di berbagai wilayah di Aceh sangat menentukan watak keislaman yang kemudian berkembang.
Pada
masa itu, Pusat Pendidikan Tinggi Dayah Cot Kala merupakan pusat
pendidikan tinggi Islam pertama di Asia Tenggara. Lembaga ini banyak
berjasa dalam menyebarkan Islam dengan banyaknya ulama dan alumni yang
kemudian menjadi pendakwah Islam sampai ke berbagai penjuru kepulauan
Nusantara, bahkan hingga seberang selat Malaka. Dakwah yang mereka
lakukan menstimulasi lahirnya kerajaan-kerajaan Islam di daerah. Sebut
saja seumpama Kerajaan Islam Samudera Pasai, Kerajaan Islam Benua,
Kerajaan Islam Lingga, Kerajaan Islam Darussalam, dan Kerajaan Islam
Indra Jaya.
Berbagai kerajaan ini akhirnya melebur atau
disatukan menjadi satu kerajaan besar pada awal abad ke XVI dengan nama
Kerajaan Aceh Darussalam. Ali Mughayatsyah yang bergelar Sultan
Alaiddin Ali Mughayatsyah dinobatkan sebagai sultan (raja) pertama. Ia
memerintah dalam rentang waktu 9l6-936 H atau 1511-1530 M.
Karena
segala sumber hukum bagi Kerajaan Aceh Darussalam adalah al-Qur'an dan
al-Hadits, maka dengan sendirinya Islam menjadi dasar pendidikan di
wilayah ini. Jadi, kalau Islam telah menjadi dasar pendidikan, maka
pendidikan itu tentu saja bertujuan untuk membina manusia-manusia yang
sanggup menjalankan ajaran Islam. Qanun Meukuta Alam (disebut juga Adat
Meukuta Alam dan kadang-kadang disebut Adat Aceh) adalah sebuah
undang-undang dasar kera-jaan sebagai penyempurnaan peraturan-peraturan
yang telah dibuat sebelumnya. Dalam Qanun Meukuta Alam ini diatur
segala ihwal yang berhubungan dengan negara secara garis besar, baik
mengenai dasar negara, sistem pemerintahan, pembagian kekuasaan dalam
negara, dan lembaga-lembaga negara.
Pada masa Ratu Safiatuddin
menjadi sulthanah, Qanun Meukuta Alam disempurnakan lagi. Dalam
undang-undang tersebut di antaranya tertulis ulama dan raja tidak boleh
jauh atau tercerai, sebab kalau ada jarak di antara mereka nis-caya
binasalah negara. Itu berarti raja dan ulama harus bersama-sama menjadi
pimpinan. Dengan kata lain, hal ini dapat ditamsilkan pula bahwa dalam
diri seorang penguasa harus ada bersamanya unsur kekuasaan dan
keilmuan.
Dalam Qanun Meukuta Alam edisi "revisi", dibuat juga
persyaratan-persyaratan untuk menjadi sultan. Setidaknya ada 21 syarat,
diantaranya adil mengajarkan hukum Allah dan hukum rasul, serta
memelihara seluruh perintah agama Islam. Terdapat pula 10 syarat untuk
menjadi wazir (menteri kerajaan). Syarat itu, misalnya, adalah "alim
(paham) pada ilmu dunia dan ilmu akhirat, dapat memegang amanah, tiada
khianat". Untuk menjadi qadhi pun ditetapkan dalam qanun ini. Di antara
syaratnya adalah "adil, alim pada pekerjaan dunia dan akhirat dan
mengetahui ia atas pekerjaan yang diserahkan oleh kerajaan kepadanya
dan dapat ia berbuat dengan adil".
Begitulah Kerajaan Aceh
Darussalam sangat mementingkan ilmu pengetahuan bagi setiap orang,
terutama bagi pejabat-pejabat (sultan, menteri, qadhi). Itu sebabnya
maka tidak menjadi suatu hal yang aneh jika Kerajaan Aceh Darussalam
kemudian melahirkan ulama-ulama dan sarjana-sarjana bertaraf
intemasional sehingga Aceh menjadi terkenal terutama pada masa Sultan
Iskandar Muda. Banyak orang dari luar datang ke Aceh untuk belajar di
sini.
Ketika Malaka ditaklukkan Portugis, ulama-ulama dan
muballigh Islam dari Malaka pindah ke Aeeh, lalu bersama-sama dengan
kalangan terdidik kerajaan menyiarkan agama Islam dan mendidik calon
ulama di dayah-dayah.
Pada masa itu, tingkatan pendidikan dalam Kerajaan Aceh Darussalam terdiri atas:
- Meunasah atau madrasah
yaitu sekolah permulaan yang terdapat di tiap-tiap gampong (kampung).
Di sana anak-anak diajarkan membaca al-Qur'an, menulis dan membaca
huruf Arab, cara beribadat, akhlak, rukun Islam, dan rukun iman.
- Rangkang,
yaitu pondok-pondok yang ada di sekeliling masjid sebagai asrama. Di
sana diajarkan fikih, ibadat, tauhid, tasawuf, sejarah Islam/umum,
bahasa Arab. Buku-buku pelajarannya terdiri dan bahasa Melayu dan
bahasa Arab.
- Dayah,
terdapat dalam tiap-tiap daerah, tetapi ada juga yang berpusat pada
mesjid bersama rangkang. Kebanyakannya terdapat terpisah dari
lingkungan mesjid dan menyediakan sebuah balai utama sebagai aula yang
digunakan sebagai tempat belajar dan tem-pat salat berjamaah. Di dayah,
semua pelajaran diajarkan dalam bahasa Arab dan mempergunakan
kitab-kitab berbahasa Arab juga. Mata ajarannya terdiri dari ilmu fikih
muamalat, tauhid, tasawuf, akhlak, ilmu bumi, ilmu tatanegara, dan
bahasa Arab. Terdapat pula dayah-dayah yang mengajarkan ilmu umum
seperti ilmu pertanian, ilmu pertukangan, dan ilmu perniagaan (ekonomi).
- Dayah Teungku Chik,
yakni satu tingkat lagi di atas dayah dan kadang-kadang disebut juga
Dayah Manyang. Dayah ini tidak begitu banyak. Di sana diajarkan mata
pelajaran antara lain bahasa Arab, fikih jinayah (hukum pidana), fikih
munakahat (hukum perkawinan), fikih duali (hukum tatanegara), sejarah
Islam, sejarah negara-negara, ilmu manthiq, tauhid, filsafat,
tasawuf/akhlak, ilmu falaq, tafsir, dan hadits.
- Jami'ah Baiturrahman.
Jami'ah ini terdapat di ibukota negara yang merupakan satu kesatuan
mesjid Jami' Baiturrahman. Jami'ah Baiturrahman ini mempunyai
bermacam-macam "Daar" yang kira-kira kalau disetarakan sama dengan
fakultas. Ada 17 "Daar" yang di-dirikan ketika itu, yakni: (1) Daar
al-Tafsir wa al-Hadits (Tafsir dan Hadits), (2) Daar al-Thibb
(Kedokteran), (3) Daar al-Kimya (Kimia), (4) Daar al-Taarikh (Sejarah),
(5) Daar al-Hisaab (Ilmu Pasti), (6) Daar al-Siyasah (Politik), (7)
Daar al-Aqli (Ilmu Akal), (8) Daar al-Zira'ah (Pertanian), (9) Daar
al-Ahkaam (Hukum), (10) Daar al-Falsafah (Filsafat), (11) Daar
al-Kalaam (Teologi), (12) Daar al-Wizaraah (Ilmu Pemerintahan), (13)
Daar Khazaanah Bait al-Maal (Keuangan dan Perbendaharaan Negara), (14)
Daar al-Ardhi (Pertambangan), (15) Daar al-Nahwi (Bahasa Arab), (16)
Daar al-Mazahib (Ilmu-ilmu Agama), dan (17) Daar al-Harbi (Ilmu
Peperangan).
Pada masa pemerintahan Sultan Alaidin Iskandar Muda
Darma Wangsa Perkasa Alam Syah berkuasa (1016-1045 H/1607-1636 M),
guru-guru besar jami'ah tersebut selain terdiri dari ulama-ulama Aceh,
juga didatangkan dari luar seperti dari Arab, Turki, Persia, dan India.
Berdasarkan catatan yang dapat ditelusuri, tak kurang dari 44 orang
guru be-sar yang didatangkan dari luar negeri pada masa itu.
Demikianlah
gambaran pendidikan di Aceh yang dilaksanakan oleh orang-orang
terdahulu. Dalam hal ini, ulama dan sul-tan memegang peranan penting
untuk memajukan pendidikan melalui lembaga pendidikan yang berbentuk
dayah. Mereka mendatangkan guru-guru besar dari luar sehingga taraf
pendidikan pun mencapai kemajuan bahkan berhasil melahirkan
cendekiawan-cendekiawan yang diperhitungkan dunia luar.
Era Belanda
Belanda
menyatakan perang kepada kerajaan Aceh pada hari Rabu tanggal 26 Maret
1873. Belanda yang mengusai Aceh sejak dekade kedua abad ke-20 tersebut
tidak melanjutkan sistem pendidikan dayah di Aceh. Kepada masyarakat
pribumi, mereka menerapkan pendidikan sistem sekolah seperti yang telah
dilakukan di daerah-daerah la-in sebelumnya.
Belanda mulai
mengembangkan sekolah di Indonesia pada pertengahan abad ke-19. Untuk
pertama kalinya mereka mendirikan sekolah dasar tiga tahun pada tahun
1849 dan sekolah guru pada tahun 1892. Pada tahun 1854 pemerintah
Belanda menyediakan pendidikan bagi anak-anak pribumi. Lalu pada tahun
1867 didirikanlah Departemen Pendidikan. Maka sejak itu, sejumlah
sekolah dasar untuk anak-anak Indonesia bertambah dengan cepat.
Pada
tahun 1892 jumlah anak-anak Indonesia pada sekolah tersebut sudah
mencapai tujuh ribu orang. Lalu, Belanda memperkenalkan dua macam
sekolah lagi; yakni sekolah kelas I (eerste klasse) untuk anak-anak
golongan aristokrat dan orang kaya, dan sekolah kelas II (tweede
klasse) untuk anak-anak orang biasa. Pada tahun 1907 Belanda mendirikan
sekolah desa yang dinamai volkschool.
Pendidikan model Barat pertama sekali diterapkan Belanda di Tapanuli dan Singkil.
Setelah
kekuasaannya melebar dan kekuatan pun bertambah, sekolah-sekolah
Belanda pun mulai dibangun di Aceh. Pada tingkat dasar meliputi
volk-school (sekolah desa), Inlandsche vervolgschool (sekolah
bumiputera lanjutan), Meisjesschool (sekolah puteri), vervolgschool-met
Nederlandsche school (sekolah dasar Belanda untuk bumiputera),
Europeesche lagere school (sekolah dasar untuk anak-anak Eropa),
Hollandsche Chinese school (sekolah Belanda untuk Cina), dan jenis
lainnya. Pada tingkat menengah Belanda mendirikan sekolah MULO di
Kutaraja (Banda Aceh sekarang --- red) yang merupa-kan satu-satunya
sekolah menengah pada waktu itu.
Dengan peristiwa perang
Aceh-Belanda pada masa ini, dapat dibayangkan bagaimana gambaran
pendidikan di Aceh pada tahun-tahun tersebut. Sebelum Sultan Muhammad
Daud menyerah pada tahun 1903, kaum ulama, ulee balang, dan rakyat
berjuang, bergerilya di daerah-daerah pedalaman dan menguasai daerah
tersebut pada waktu malam hari. Sedangkan Belanda menguasai bagian
pesisir dan tempat-tempat tertentu yang kuat bentengnya serta
daerah-daerah kekuasaan uleebalang yang sudah menandatangani kontrak
"verklaring" (perjanjian pendek dengan Belanda).
Pengaruh dan
kekuasaan Belanda semakin hari semakin meluas, baik dalam dunia
pemerintahan, pendidikan, dan lainnya. Kebanyakan kaum ulama yang
sebelum pecah perang memimpin pendidikan rakyat dengan mengadakan
da-yah dan ceramah-ceramah keagamaan, kini terjun langsung ke medan
jihad. Ada juga yang terus melaksanakan pendidikan di samping memimpin
perjuangan dengan senjata seperti Teungku Chik di Tiro Dayah Cut
(Teungku Chik Muhammad Amin) di Aceh Pidie, paman dan Teungku Chik di
Tiro Muhammad Saman.
Ada yang menjadi tempat bertanya para
pejuang tidak berhubungan dengan Belanda dan tetap membuka dayah di
tempatnya, jauh di pedalaman seperti Teungku Chik Tanoh Abeue (Teungku
Chik Abdul Wahab) Tanoh Abeue, Aceh Besar. Kedua golongan ulama ini
tetap mendidik dan mengajar sehingga banyak melahirkan ulama Aceh yang
belajar dalam hutan perjuangan. Di antaranya Teungku H. Muhammad
Hasbullah Indrapuri dan Teungku H. Abdullah Lam U, yang sangat terkenal
pada masa kebangkitan dan kebangunan Aceh. Ulama tersebut bergelar
"Teungku di Rimba". Berbeda dengan daerah lain, kalau di "rimba'"itu
gelar 'harimau', tetapi kalau di Aceh benar-benar 'ulama' yang me-mang
alim di rimba.
Dengan berkuasanya Belanda di kota-kota dan
sekitarnya, mereka pun membuka tempat pendidikan berupa sekolahan. Para
ulama sendiri meneruskan sistem pendidikannya dengan dayah-dayah, di
desa yang terpencil, jauh dari kota.
Pada garis besarnya corak
pendidikan di Aceh, sejak datangnya pendidikan yang dibawa Belanda,
menjadi dua; yaitu corak pendidikan asli dari rakyat Aceh yang disebut
dayah, dan corak pendidikan baru yang dibawa Belanda dalam bentuk
sekolah.
Kedua macam pendidikan itu sangat bertentangan satu
sama lain dalam hal tujuan dan prinsip. Dapat dikatakan bahwa
pendidikan yang sudah berjalan lama --- dayah --- selain meneruskan
perjuangan pendidikan umat, kini bertambah lagi dengan tujuan baru
yaitu mempertahankan semangat juang rakyat supaya tak lumpuh sehingga
mental dan keyakinannya tak dapat dipengaruhi oleh Belanda.
Berbeda
dengan itu, tujuan pendidikan yang dibawa oleh Belanda pada dasarnya
adalah alat untuk menundukkan rakyat Aceh dan mencerdaskannya untuk
kepentingan scurity (keamanan) Belanda.
Dengan sebutan lain,
pendidikan yang dibawa Belanda bertujuan menanam pengaruh dan mencari
simpati rakyat. Ini tampak jelas dengan cara-cara sangat menonjol yang
dilakukan Belanda, seperti mengutamakan pelajaran menyanyi yang
tujuannya untuk memuji Belanda dengan lagu Wilhelmus.
Untuk
memuluskan tujuannya, Belanda mendatangkan guru-guru dari luar Aceh
yang dianggap loyal kepada Belanda. Pada masa ini, seorang guru telah
dipandang cakap kalau sudah pandai bernyanyi dan sedikit berhitung,
lalu kepada mereka diberikan fasilitas yang lebih seperti dibebaskan
naik kereta api ke segala jurusan. Pemeriksa sekolah atau (school
opziener) mendapat kehormatan dari Belanda. Murid-murid selalu senang
mendapat hadiah dan bebas dari segala pungutan asal mau bersekolah
saja.
Untuk putra-putra ulee balang dan tokoh masyarakat
diadakan didikan khusus yang pendidiknya terdiri dari orang Belanda.
Tujuannya tentu saja ingin membentuk watak mereka supaya benar-benar
pro kepada Belanda. Tetapi, da-lam kenyataannya, tujuan ini kurang
berhasil. Di samping Belanda melakukan politik pendidikan yang
demikian, rakyat Aceh dan kaum pejuangnya dengan bimbingan para ulama,
mengecam pendidikan tersebut, sehingga timbullah slogan bahwa siapa
yang menyerahkan anaknya ke sekolah Belanda, ia akan menjadi kafir dan
haram hukumnya.
Walaupun demikian Belanda dapat juga
menyekolahkan beberapa anak ulama dan orang terkemuka lainnya, seperti
Teungku Bujang Krueng Geukueh di "Sekolah Raja" (Kweekschool) di
Bukittinggi, lalu diangkat menjadi Zelfbestuurder Negeri Nizam yang
beribukota Krueng Geukueh. Karena tidak menuruti kehendak Belanda, ia
dibuang ke Meulaboh, lalu ke Ulelheu. Tak juga mau patuh, ia kemudian
dibuang lagi ke Digul.
Teungku Chik Thayeb Peureulak mendapatkan
perlakuan yang sama, dibuang ke Betawi, karena tidak patuh juga kepada
Belanda sesudah ia disekolahkan. Begitu pula dialami oleh Teuku Nyak
Arif.
Demikianlah Belanda menjalankan keinginannya, walupun
tujuannya tidak sebagaimana yang diharapkan ada juga satu dua orang dan
pemuka dan ulee balang yang dimanfaatkannya. Tetapi walau secara
lahiriah dipercaya oleh Belanda, namun mereka dapat memanfaatkannya
untuk kepentingan rakyat banyak.
Belanda memang menyadari bahwa
dayah yang didirikan oleh para ulama bertujuan antara lain menanamkan
rasa benci terhadap mereka. Oleh karena itu pemerintahan Belanda
berusaha untuk mengganti kannya dengan pendidikan barat (Belanda).
Dengan
menolak semua pendidikan dan kebudayaan yang dibawa Belanda, para ulama
Aceh memugar kembali dayah yang lama terbengkalai akibat perang yang
terlalu lama. Adapun mata pelajaran yang dipelajari hampir tidak
berbeda dari satu dayah dengan dayah yang lain. Semua mata pelajaran
terdiri dari ilmu-ilmu agama saja seperti bahasa Arab, fikih, tafsir,
hadis, tasawuf, tauhid, usul fikih, dan lain-lain.
Seperti
disebut tadi, dalam pandangan Belanda, pendidikan di dayah bertujuan
untuk menanam rasa kebencian rakyat Aceh terhadap Belanda. Itu sebabnya
Belanda mati-matian berusaha agar pendidikan dayah diganti dengan
pendi-dikan barat (Belanda).
Pada masa ini Snouk Hurgrounje
hadir sebagai penasihat pemerintah Hindia Belanda dan mengajukan opsi
kepada pemerintahannya untuk menjalankan politik asosiasi dengan kaum
pribumi; semacam sikap politik untuk mempererat ikatan antara negeri
jajahan dengan negara penjajahnya melalui kebudayaan.
Tapi apa
lacur, politik asosiasi ini tidak berhasil dijalankan terutama karena
daya tarik pendidikan dayah memang lebih besar terhadap rakyatnya
dibandingkan pendidikan Belanda. Kebanyakan rakyat Aceh tidak memiliki
kepercayaan sama sekali terhadap Belanda, apalagi ada anggapan bahwa
Belanda adalah pemenintahan kafir yang ingin menghilangkan agama rakyat
Aceh.
Jadi, inilah perbedaan yang tegas dan mencolok antara
tujuan dayah pada masa kesultanan dan pada masa kolonial Belanda.
Tujuan dayah pada masa kesultanan adalah untuk mempelajari,
mengembangkan serta mengamalkan ilmu dan akidah agama Islam. Sedangkan
tujuan dayah pada masa kolonial Belanda selain seperti tersebut di atas
juga untuk membentuk kembali kepribadian, kekuatan, serta kecakapan
untuk mematahkan tekanan yang dipaksakan Belanda terhadap rakyat Aceh.
Pendudukan Jepang
Kebencian
rakyat terhadap penjajahan Belanda telah sampai di ubun-ubun. Karena
itu, ketika Jepang memaklumkan perang terhadap sekutu, termasuk di
antaranya Belanda, pada tanggal 8 Desember 1942, rakyat Aceh dengan
gembira menyambut maklumat tersebut dengan harapan Belanda dapat segera
angkat kaki.
Maka, sewaktu koloni kelima Jepang dengan nama
Fujiwarakikan tiba di Aceh, para ulama yang tergabung dalam PUSA
(Persatuan Ulama Seluruh Aceh) menerimanya secara rahasia. Tapi ketika
rakyat mengetahuinya maka rakyatnya pun menerima dengan gembira.
Penerimaan kedatangan Jepang oleh para ulama dan rakyat tersebut tidak
diberitahukan kepada kaum ulee balang karena khawatir akan terjadi
kebocoran dan diketahui oleh Belanda sebab pada masa itu sebagian ulee
balang memiliki hubungan yang karib dengan Belanda.
Di Aceh
Besar, ulee balang seperti Panglima Polem Muhammad Ali yang tidak rapat
dengan Belanda, diberi tahu. Teungku Abdul Wahab Keunaloe Seulimum
sebagai wakil ketua II pengurus besar PUSA, berani menyampaikan
kedatangan Jepang kepadanya. Oleh karena memang para ulee balang di
Aceh Besar sebelumnya sudah bersumpah untuk memberontak terhadap
Belanda, jadi mereka berpendapat bahwa inilah saat yang tepat untuk
berjuang bersama dengan para ulama. Usaha ini berhasil. Belanda
terpaksa meninggalkan Aceh Besar melarikan diri menuju Takengon. Ketika
Jepang memasuki Kutaraja pada tanggal 12 Maret 1942, batang hidung
Belanda sudah tak ditemui la-gi di Aceh Besar.
Saat baru
beberapa hari Jepang menduduki Kutaraja, dibentuklah suatu komite untuk
membentuk pemerintahan baru. Orang-orang yang aktif dalam gerakan "F"
(Fujiwarakikan) dilibatkan dalam pemerintahan. Seperti T Nyak Arief
diangkat menjadi guntyo (wedana) Kutaraja, TMA Panglima Polem menjadi
guntyo Seulimum, dan Haji Abu Bakar Ibrahim Bireuen menjadi guntyo
Bireuen. Ulee balang-ulee balang lainnya menjadi sontyo (camat). Nanti,
pada giliran-nya jabatan-jabatan itu digantikan oleh orang lain seiring
dengan pergantian gubernur daerah Aceh (tyokan Aceh syu).
Walaupun
pada masa ini rakyat, ulama, dan komponen masyarakat dapat berbaur
dengan Jepang, seperti dengan memasuki tentara (gyu gun), polisi
(takubetsu), namun para ulama tetap tidak menolerir kekejaman tentara
Jepang dan untuk itu mereka mengadakan pemberontakan. Pertama sekali
pada tahun 1944 di Bayu, di bawah pimpinan se-orang ulama pemimpin
dayah bernama Teungku Abdul Jalil yang berhasil melumpuhkan satu kompi
tentàra Jepang. Kedua kalinya terjadi di Pandrah, Kecamatan Jeunieb.
Kemerdekaan
Pada
masa revolusi fisik (1945-1949), pusat-pusat pendidikan dayah di Aceh
banyak yang memiliki pondok (asrama). Pondok ini merupakan tempat
tinggal bagi para murib (santri) yang belajar di dayah tersebut.
Biasanya pondok-pondok yang ada terbuat dari papan kayu atau bambu.
Lembaga
pendidikan dayah pada umunmya bertingkat-tingkat sesuai dengan tingkat
usia murid atau santri. Ketika masih kecil, seorang anak biasanya
belajar di meunasah-rneunasah atau rangkang. Setelah berumur tujuh atau
delapan tahun, mulai diajarkan membaca alfabet Arab dan secara bertahap
membaca al-Qur'an. Program pengajaran ini dianggap selesai setelah si
anak dapat membaca sendiri al-Qur'an dengan lancar dan benar. Bagi
beberapa anak dan keluarga tertentu, dapat melanjutkan ke jenjang yang
lebih tinggi.
Pelajaran berikutnya adalah mendidik anak agar
dapat membaca dan menerjemahkan buku-buku Islam klasik yang elementer
yang ditulis dalam bahasa Arab.
Sebagian dari mereka mempunyai
cita-cita menjadi ulama, sehingga setelah berkenalan dengan kitab-kitab
elementer, mereka memperdalam bahasa Arab sebagai alat untuk dapat
mendalami buku-buku tentang fikih (hukum Islam), usul fikih
(pengetahuan tentang sumber-sumber dan sistem yurisprudensi Islam),
hadis adab (sastra Arab), tafsir tauhid (teologi Islam), tarikh
(sejarah Islam), tasawuf dan akhlak (etika Islam).
Posisi
dominan yang dipegang oleh lembaga pendidikan dayah ini sebagian
disebabkan oleh suksesnya lembaga tersebut menghasilkan sejumlah besar
ulama yang berkualitas tinggi yang dijiwai oleh semangat untuk
menyebarluaskan dan memantapkan keimanan orang-orang Islam, terutama di
pedesaan di Aceh.
Sebagai pusat pendidikan Islam tingkat
menengah, dayah juga mendidik guru-guru agama, guru-guru lembaga
pengajian dan para khatib Jum'at. Keberhasilan pemimpin-pemimpin dayah
dalam melahirkan sejumlah ulama yang berkualitas tinggi tidak terlepas
dari metode pendidikan yang dikembangkan oleh para teungku dayah.
Di
dayah, tujuan pendidikan tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran
murid dengan penjelasan-penjelasan, tetapi juga untuk meningkatkan
moral, melatih, dan mempertinggi semangat, menghargai niai-nilai
spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap atau tingkah laku yang
jujur serta bermoral, dan menyiapkan para murid untuk bersih hati
maupun hidup sederhana. Setiap santri diajar agar menerima etik agama
di atas etik-etik yang lain.
Tujuan pendidikan dayah bukanlah
untuk mengejar kepentingan kekuasaan, uang dan keagungan duniawi,
tetapi yang terutama ditanamkan bahwa belajar adalah semata-mata
kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan.
Di antara cita-cita
pendidikan dayah adalah latihan agar dapat berdiri sendiri dan membina
diri agar tidak menggantungkan sesuatu kepada orang lain kecuali kepada
Tuhan. Para teungku dayah selalu menaruh perhatian dan mengembangkan
watak pendidikan individual. Murid dididik sesuai dengan kemampuan dan
keterbatasan dirinya. Anak-anak yang cerdas dan memiliki kelebihan
kemampuan dibandingkan yang lain, diberi perhatian istimewa dan selalu
didorong untuk mengembangkan diri. Santri-santri juga diperhatikan
tingkah laku dan moralnya secara teliti.
Kepandaian berpidato
dan berdebat juga mendapat perhatian dari para guru. Kepada para murid
juga ditanamkan untuk memiliki rasa bertanggung jawab yang tinggi untuk
melestarikan dan menyebarkan pengetahuan mereka tentang Islam kepada
orang lain, mencurahkan waktu dan tenaga untuk belajar terus-menerus
sepanjang waktu.
Menurut tradisi dayah, pengetahuan seseorang
diukur oleh jumlah buku yang telah dipelajari dan kepada teungku dayah
mana ia telah berguru. Jumlah buku-buku standar dalam tulisan Arab yang
dikarang oleh ulama terkenal yang harus dibaca telah ditentukan oleh
lembaga-lembaga dayah.
Walaupun jumlah cabang pengetahuan yang
dipelajari sangat terbatas, tetapi bukan berarti pendidikan di dayah
membatasi cara berfikir dan perhatian santri. Dalam tradisi dayah juga
dikenal adanya pemberian ijazah, tetapi ben-tuknya berbeda dengan
ijazah dalam sistem moderen. Hubungan antara guru dan murid adalah
sedemikian rupa, sehingga anjuran-anjuran yang diberikan sang guru
lazimnya dianggap oleh si murid sebagai perintah yang mutlak harus
dikerjakan.
Dengan bergulirnya waktu dan eksisnya lembaga dayah
dalam pranata sosial masyarakat Aceh, akhirnya dayah terpola menjadi
lembaga tradisional yang merupakan ciri khas pendidikan Islam di Aceh.
Pola pendidikan ini mengendap men-jadi konsepsi dan kemudian mewarnai
watak sosial dari masyarakat atau tempat kedudukan dayah itu sendiri.
Misalnya: sistem pendidikan yang masih mengutamakan kitab-kitab kuning
atau gundul, juga adanya pemisahan antara murid perempuan dan murid
laki-laki.
Pendidikan Islam yang berkembang di dayah-dayah di
Aceh pada masa revolusi telah berhasil mencetak kader-kader ulama,
pendidik, dan pemimpin-pemimpin yang mampu menggerakkan rakyatnya untuk
berjuang bersama-sama mempertahankan kemerdekaan dari agresi militer
Belanda.
"Dalam tahun empat puluhan, para ulama Aceh terbagi dalam
dua kelompok yaitu ulama Ahlussunnah wal jama'ah kaum tua dan ulama
Ahlussunnah wal jama'ah kaum muda. Dalam dasar-dasar akidah tidak ada,
hanya berbeda pen-dapat dalam masalah-masalah furu'iyah. Di luar
ketentuan yang asli ini, kadang-kadang terjadi perbedaan yang tajam
antara ulama kaum muda dan ulama kaum tua dalam menghadapi
masalah-masalah keduniaan, politik, ekonomi dan sosial budaya," ungkap
A. Hasjmy, suatu ketika.
Penuturan A. Hasjmy jelas menggambarkan
bahwa dayah-dayah yang berada di Aceh kebanyakan menganut faham
Ahlussunnah wal jama'ah yang banyak dianut oleh golongan tua. Sebagai
contoh dapat dikemukakan di sini, misalnya dayah Darussalam Labuhan
Haji Aceh Selatan, Darul Ihsan Aceh Selatan, Dayah Tgk Fakinah dan
Dayah Tanoh Abee di Aceh Besar. Namun dalam perkembangan selanjutnya,
sistem pendidikan dayah secara bertahap walaupun lambat, mengalami
pergeseran.
Di sisi lain, walaupun pendidikan di Indonesia mengalami
kemajuan, namun masih tertinggal dari sistem pendidikan yang berkembang
di negara Barat. Pendidikan di Indonesia dianggap masih belum mampu
menjawab problema yang ada karena masih terbatasnya sumber daya manusia
(SDM) yang dimiliki. Karena itu, keberadaan dayah dapat menjadi pilihan
untuk mengembangkan SDM yang tangguh menghadapi masa depan. []
sumber : http://bppd.acehprov.go.id/index.php?kategori=berita&linkjudul=dayah-sejak-sultan-hingga-sekarang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Me
- Malim Sempurna
- Malim Sempurna Berasal dari Lae Mate, Kota Subulussalam - Aceh. Selama 5 tahun belakangan ini telah menetap di Mesir Okotober 2005 - sekarang
Pengikut
Arsip Blog
-
►
2013
(1)
- ► 11/03 - 11/10 (1)
-
▼
2012
(11)
- ► 04/15 - 04/22 (1)
- ▼ 02/26 - 03/04 (2)
- ► 01/29 - 02/05 (2)
- ► 01/22 - 01/29 (2)
- ► 01/15 - 01/22 (4)
-
►
2011
(126)
- ► 10/09 - 10/16 (1)
- ► 10/02 - 10/09 (3)
- ► 09/25 - 10/02 (9)
- ► 09/18 - 09/25 (5)
- ► 09/11 - 09/18 (14)
- ► 09/04 - 09/11 (14)
- ► 08/28 - 09/04 (35)
- ► 08/21 - 08/28 (40)
- ► 08/14 - 08/21 (4)
- ► 04/10 - 04/17 (1)
0 komentar:
Posting Komentar