Bani Abbasiyah
- peta kekuasaan khilafah abbasiyah
Bani Abbasiyah atau
Kekhalifahan Abbasiyah
(Arab: العبّاسدين, al-Abbāsidīn) adalah kekhalifahan kedua Islam yang
berkuasa di Bagdad (sekarang ibu kota Irak). Kekhalifahan ini berkembang
pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat pengetahuan dengan
menerjemahkan dan melanjutkan tradisi keilmuan Yunani dan Persia.
Kekhalifahan ini naik kekuasaan setelah mengalahkan Bani Umayyah dari
semua kecuali Andalusia. Bani Abbasiyah dibentuk oleh keturunan dari
paman Nabi Muhammad yang termuda, Abbas. Berkuasa mulai tahun 750 dan
memindahkan ibukota dari Damaskus ke Baghdad. Berkembang selama dua
abad, tetapi pelan-pelan meredup setelah naiknya bangsa tentara-tentara
Turki yang mereka bentuk, Mamluk. Selama 150 tahun mengambil kekuasaan
memintas Iran, kekhalifahan dipaksa untuk menyerahkan kekuasaan kepada
dinasti-dinasti setempat, yang sering disebut amir atau sultan.
Menyerahkan Andalusia kepada keturunan Umayyah yang melarikan diri,
Maghreb dan Ifriqiya kepada Aghlabid dan Fatimiyah. Kejatuhan totalnya
pada tahun 1258 disebabkan serangan bangsa Mongol yang dipimpin Hulagu
Khan yang menghancurkan Bagdad dan tak menyisakan sedikitpun dari
pengetahuan yang dihimpun di perpustakaan Bagdad.
Keturunan dari Bani Abbasiyah termasuk suku al-Abbasi saat ini banyak bertempat tinggal di timur laut Tikrit, Iraq sekarang.
Pendahuluan
Bani Abbasiyah berhasil memegang kekuasaan kekhalifahan selama tiga
abad, mengkonsolidasikan kembali kepemimpinan gaya Islam dan menyuburkan
ilmu pengetahuan dan pengembangan budaya Timur Tengah. Tetapi pada
tahun 940 kekuatan kekhalifahan menyusut ketika orang-orang non-Arab,
khususnya orang Turki (dan kemudian diikuti oleh orang Mamluk di Mesir
pada pertengahan abad ke-13), mulai mendapatkan pengaruh dan mulai
memisahkan diri dari kekhalifahan.
Meskipun begitu, kekhalifahan
tetap bertahan sebagai simbol yang menyatukan dunia Islam. Pada masa
pemerintahannya, Bani Abbasiyah mengklaim bahwa dinasti mereka tak dapat
disaingi. Namun kemudian, Said bin Husain, seorang muslim Syiah dari
dinasti Fatimiyyah yang mengaku bahwa anak perempuannya adalah keturunan
Nabi Muhammad, mengklaim dirinya sebagai Khalifah pada tahun 909,
sehingga timbul kekuasaan ganda di daerah Afrika Utara. Pada awalnya ia
hanya menguasai Maroko, Aljazair, Tunisia dan Libya. Namun kemudian, ia
mulai memperluas daerah kekuasaannya sampai ke Mesir dan Palestina,
sebelum akhirnya Bani Abbasyiah berhasil merebut kembali daerah yang
sebelumnya telah mereka kuasai, dan hanya menyisakan Mesir sebagai
daerah kekuasaan Bani Fatimiyyah. Dinasti Fatimiyyah kemudian runtuh
pada tahun 1171. Sedangkan Bani Umayyah bisa bertahan dan terus memimpin
komunitas Muslim di Spanyol, kemudian mereka mengklaim kembali gelar
Khalifah pada tahun 929, sampai akhirnya dijatuhkan kembali pada tahun
1031.
Menuju kekuasaan dan masa berkuasanya
Bani Abbasiyyah merupakan keturunan dari Abbas bin Abdul-Muththalib
(566-652) yang juga merupakan paman dari Nabi Muhammad, oleh karena itu
mereka termasuk ke dalam Bani Hasyim. Sedangkan Bani Umayyah yang
merupakan salah satu kabilah dalam Quraisy, bukan termasuk yang
seketurunan dengan Nabi.
Muhammad bin Ali, cicit dari Abbas
menjalankan kampanye untuk mengembalikan kekuasaan pemerintahan kepada
keluarga Bani Hasyim di Parsi pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin
Abdul Aziz. Pada masa pemerintahan Khalifah Marwan II, pertentangan ini
semakin memuncak dan akhirnya pada tahun 750, Abu al-Abbas al-Saffah
menang melawan pasukan Bani Umayyah dan kemudian dilantik sebagai
khalifah.
Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khilafah
Umayyah, dimana pendiri dari khilafah ini adalah keturunan Al-Abbas,
paman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Abdullah
al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas Rahimahullah.
Dimana pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan
perubahan politik, sosial, dan budaya.
Kekuasaan dinasti Bani
Abbas, atau khilafah Abbasiyah, sebagaimana disebutkan melanjutkan
kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para
pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al-Abbas paman Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh
Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abass.
Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun
132 H (750 M) s/d. 656 H (1258 M).
Selama dinasti ini berkuasa,
pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan
politik, sosial dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan
politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani
Abbas menjadi lima periode:
1. Periode Pertama (132 H/750 M-232 H/847 M), disebut periode pengaruh arab dan Persia pertama.
2. Periode Kedua (232 H/847 M-334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki pertama.
3.
Periode Ketiga (334 H/945 M-447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Bani
Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga
masa pengaruh Persia kedua.
4. Periode Keempat (447 H/1055 M-590
H/l194 M), masa kekuasaan daulah Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah
Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua (di
bawah kendali) kesultanan Bani Seljuk (salajiqah al-Kubra/Seljuk agung).
5.
Periode Kelima (590 H/1194 M-656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari
pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota
Bagdad (invasi dari tar-tar,dan ekspansi bani Utsmani secara
besar-besaran).
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas
mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul
tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama
sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat
tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi
perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah
periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang
politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.
Masa
pemerintahan Abu al-Abbas Rahimahullah , pendiri dinasti ini sangat
singkat, yaitu dari tahun 750-754 M. karena itu, pembina sebenarnya dari
daulah Abbasiyah adalah Abu Ja'far al-Manshur Rahimahullah (754-775 M).
Dia dengan keras menghadapi lawan-lawannya dari Bani Umayyah, Khawarij,
dan juga Syi'ah yang merasa dikucilkan dari kekuasaan. Untuk
mengamankan kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingan
baginya satu per satu disingkirkannya. Abdullah bin Ali dan Shalih bin
Ali, keduanya adalah pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur
oleh khalifah sebelumnya di Syria dan Mesir, karena tidak bersedia
membaiatnya, dibunuh oleh Abu Muslim al-Khurasani atas perintah Abu
Ja'far Rahimahullah . Abu Muslim sendiri karena dikhawatirkan akan
menjadi pesaing baginya, dihukum mati pada tahun 755 M.
Pada
mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk
lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu,
al-Mansyur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya,
Bagdad, dekat bekas ibu kota Persia, Clesiphon, tahun 762 M. Dengan
demikian, pusat pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah
bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini al-Manshur melakukan
konsolidasi dan Penertiban pemerintahannya. Dia mengangkat sejumlah
personal untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif. Di
bidang pemerintahan, dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat
Wazir sebagai koordinator departemen, Wazir pertama yang diangkat adalah
Khalid bin Barmak, berasal dari Balkh, Persia. Dia juga membentuk
lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara
disamping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad ibn
Abdurrahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos
yang sudah ada sejak masa dinasti Bani Umayyah ditingkatkan peranannya
dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat.
Pada masa al-Manshur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh
informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat
berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah
laku gubernur setempat kepada khalifah.
Khalifah al-Manshur
Rahimahullah berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya
membebaskan diri dari pemerintah pusat, dan memantapkan keamanan di
daerah perbatasan. Diantara usaha-usaha tersebut adalah merebut
benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia dan Cicilia
pada tahun 756-758 M. Ke utara bala tentaranya melintasi pegunungan
Taurus dan mendekati selat Bosphorus. Di pihak lain, dia berdamai dengan
kaisar Constantine V dan selama gencatan senjata 758-765 M, Bizantium
membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan
Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian lain
Oksus dan India.
Pada masa al-Manshur Rahimahullah pengertian
khalifah kembali berubah. Dia berkata, "Innama anii Sulthan Allah fi
ardhihi (sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya)". Dengan
demikian, konsep khilafah dalam pandangannya dan berlanjut ke generasi
sesudahnya merupakan mandat dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula
sekedar pelanjut Nabi sebagaimana pada masa al- Khulafa' al-Rasyiduun.
Disamping itu, berbeda dari daulat Umayyah, khalifah-khalifah Abbasiyah
memakai "gelar tahta", seperti al-Manshur adalah "gelar tahta"nya
Sulthan Abu Ja'far. "gelar tahta" itu lebih populer daripada nama yang
sebenarnya.
Kalau dasar-dasar pemerintahan daulah Abbasiyah
diletakkan dan dibangun oleh Abul-Abbas dan Abu Ja'far al-Manshur, maka
puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya,
yaitu al-Mahdi (775-785 M), al-Hadi (775- 786 M), Harun al-Rasyid
(786-809 M), al-Ma'mun (813-833 M), al-Mu'tashim (833-842 M), al-Watsiq
(842-847 M) (ketiga khalifah tersebut berfaham jahmiyyah), dan
al-Mutawakkil (847-861 M). Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai
meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian melalui irigasi dan
peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan besi.
Terkecuali itu dagang transit antara Timur dan Barat juga banyak membawa
kekayaan. Bashrah menjadi pelabuhan yang penting.
Popularitas
daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun al-Rasyid
Rahimahullah (786-809 M) dan puteranya al-Ma'mun (813-833 M). Kekayaan
yang banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid Rahimahullah untuk keperluan
sosial. Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi didirikan.
Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter.
Disamping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan,
sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta
kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara
Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.
Al-Ma'mun, pengganti al-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat
cinta kepada ilmu filsafat. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan
buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia
menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama
lain yang ahli (wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah). Ia juga
banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting
adalah pembangunan Baitul-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi
sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa
Al-Ma'mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu
pengetahuan.
Al-Mu'tashim, khalifah berikutnya (833-842 M),
memberi peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam
pemerintahan, keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal.
Tidak seperti pada masa daulah Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan
perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-orang muslim mengikuti
perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi
prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer dinasti
Bani Abbas menjadi sangat kuat. Walaupun demikian, dalam periode ini
banyak tantangan dan gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik
dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu
seperti gerakan sisa-sisa Bani Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas,
revolusi al-Khawarij di Afrika Utara, gerakan Zindiq di Persia, gerakan
Syi'ah, dan konflik antar bangsa dan aliran pemikiran keagamaan.
Semuanya dapat dipadamkan.
Dari gambaran di atas Bani Abbasiyah
pada periode pertama lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan
Islam daripada perluasan wilayah. Inilah perbedaan pokok antara Bani
Abbas dan Bani Umayyah. Disamping itu, ada pula ciri-ciri menonjol
dinasti Bani Abbas yang tak terdapat di zaman Bani Umayyah.
1.
Dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbas menjadi
jauh dari pengaruh Arab Islam. Sedangkan dinasti Bani Umayyah sangat
berorientasi kepada Arab Islam. Dalam periode pertama dan ketiga
pemerintahan Abbasiyah, pengaruh kebudayaan Persia sangat kuat, dan pada
periode kedua dan keempat bangsa Turki sangat dominan dalam politik dan
pemerintahan dinasti ini.
2. Dalam penyelenggaraan negara, pada
masa Bani Abbas ada jabatan wazir, yang membawahi kepala-kepala
departemen. Jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan Bani Umayyah.
3.
Ketentaraan profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan Bani
Abbas. Sebelumnya, belum ada tentara khusus yang profesional.
Sebagaimana diuraikan di atas, puncak perkembangan kebudayaan dan
pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi,
tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa Bani Abbas
sendiri. Sebagian di antaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan
Islam. Dalam bidang pendidikan, misalnya, di awal Islam, lembaga
pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan
terdiri dari dua tingkat:
-Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga
pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan,
hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu
agama, seperti tafsir, hadits, fiqh dan bahasa.
-Tingkat
pendalaman. Para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar
daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam
bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah
ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di
rumah-rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa
berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut dengan memanggil
ulama ahli ke sana.
Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada
masa pemerintahan Bani Abbas, dengan berdirinya perpustakaan dan
akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas,
karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat
membaca, menulis dan berdiskusi. Perkembangan lembaga pendidikan itu
mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal
ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa
administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun
sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Disamping itu, kemajuan itu paling
tidak, juga ditentukan oleh dua hal, yaitu:
1. Terjadinya
asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu
mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa
pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non-Arab banyak yang masuk Islam.
Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa
itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam
Islam. Pengaruh Persia, sebagaimana sudah disebutkan, sangat kuat di
bidang pemerintahan. Disamping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam
perkembangan ilmu, filsafat dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam
bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan pengaruh
Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu,
terutama filsafat.
2. Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam
tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun
al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya
dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua berlangsung mulai masa
khalifah al-Ma'mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak
diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga
berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan
kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.
Pengaruh
dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui
gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu
pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang
tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode, penafsiran pertama, tafsir
bi al-ma'tsur, yaitu interpretasi tradisional dengan mengambil
interpretasi dari Nabi dan para sahabat. Kedua, tafsir bi al-ra'yi,
yaitu metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan
pikiran daripada hadits dan pendapat sahabat. Kedua metode ini memang
berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi jelas sekali
bahwa tafsir dengan metode bi al-ra'yi, (tafsir rasional), sangat
dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan.
Hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqh dan terutama dalam ilmu
teologi. Perkembangan logika di kalangan umat Islam sangat mempengaruhi
perkembangan dua bidang ilmu tersebut.
Imam-imam madzhab hukum
yang empat hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama. Imam Abu
Hanifah (700-767 M) dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh
perkembangan yang terjadi di Kufah, kota yang berada di tengah-tengah
kebudayaan Persia yang hidup kemasyarakatannya telah mencapai tingkat
kemajuan yang lebih tinggi. Karena itu, mazhab ini lebih banyak
menggunakan pemikiran rasional daripada hadits. Muridnya dan sekaligus
pelanjutnya, Abu Yusuf, menjadi Qadhi al-Qudhat di zaman Harun
al-Rasyid. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah, Imam Malik (713-795 M)
banyak menggunakan hadits dan tradisi masyarakat Madinah. Pendapat dua
tokoh mazhab hukum itu ditengahi oleh Imam Syafi'i (767-820 M),dan Imam
Ahmad ibn Hanbal (780-855 M) mengembalikan sistim madzhab dan pendapat
akal semata kepada hadits Nabi serta memerintahkan para muridnya untuk
berpegang kepada hadits Nabi serta pemahaman para sahabat Nabi. Hal ini
beliau Rahimahullah lakukan untuk menjaga dan memurnikan ajaran Islam
dari kebudayaan serta adat istiadat orang-orang non-Arab. Disamping
empat pendiri madzhab besar tersebut, pada masa pemerintahan Bani Abbas
banyak para mujtahid lain yang mengeluarkan pendapatnya secara bebas dan
mendirikan madzhab-nya pula. Akan tetapi, karena pengikutnya tidak
berkembang, pemikiran dan mazhab itu hilang bersama berlalunya zaman.
Aliran-aliran
sesat yang sudah ada pada masa Bani Umayyah, seperti Khawarij, Murji’ah
dan Mu'tazilah pun ada. Akan tetapi perkembangan pemikirannya masih
terbatas. Teologi rasional Mu'tazilah muncul di ujung pemerintahan Bani
Umayyah. Namun, pemikiran-pemikirannya yang lebih kompleks dan sempurna
baru mereka rumuskan pada masa pemerintahan Bani Abbas periode pertama,
setelah terjadi kontak dengan pemikiran Yunani yang membawa pemikiran
filsafat dan rasionalisme dalam Islam. Tokoh perumus pemikiran
Mu'tazilah yang terbesar adalah Abu al-Huzail al-Allaf (135-235
H/752-849M) dan al-Nazzam (185-221 H/801-835M). Asy'ariyah, aliran
tradisional di bidang teologi yang dicetuskan oleh Abu al-Hasan
al-Asy'ari (873-935 M) yang lahir pada masa Bani Abbas ini juga banyak
sekali terpengaruh oleh logika Yunani. Ini terjadi, karena al-Asy'ari
sebelumnya adalah pengikut Mu'tazilah. Hal yang sama berlaku pula dalam
bidang sastra. Penulisan hadits, juga berkembang pesat pada masa Bani
Abbas. Hal itu mungkin terutama disebabkan oleh tersedianya fasilitas
dan transportasi, sehingga memudahkan para pencari dan penulis hadits
bekerja.
Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan
ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran,
filsafat, kimia dan sejarah. Dalam lapangan astronomi terkenal nama
al-Fazari sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe.
Al-Farghani, yang dikenal di Eropa dengan nama Al-Faragnus, menulis
ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh
Gerard Cremona dan Johannes Hispalensis. Dalam lapangan kedokteran
dikenal nama ar-Razi dan Ibn Sina. Ar-Razi adalah tokoh pertama yang
membedakan antara penyakit cacar dengan measles. Dia juga orang pertama
yang menyusun buku mengenai kedokteran anak. Sesudahnya, ilmu
kedokteraan berada di tangan Ibn Sina. Ibn Sina yang juga seorang
filosof berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia. Diantara
karyanya adalah al-Qoonuun fi al-Thibb yang merupakan ensiklopedi
kedokteran paling besar dalam sejarah.
Dalam bidang optikal Abu
Ali al-Hasan ibn al-Haitsami, yang di Eropa dikenal dengan nama Alhazen,
terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata mengirim
cahaya ke benda yang dilihat. Menurut teorinya yang kemudian terbukti
kebenarannya bendalah yang mengirim cahaya ke mata. Di bidang kimia,
terkenal nama Jabir ibn Hayyan. Dia berpendapat bahwa logam seperti
timah, besi dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak dengan
mencampurkan suatu zat tertentu. Di bidang matematika terkenal nama
Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, yang juga mahir dalam bidang astronomi.
Dialah yang menciptakan ilmu aljabar. Kata "aljabar" berasal dari judul
bukunya, al-Jabr wa al-Muqoibalah. Dalam bidang sejarah terkenal nama
al-Mas'udi. Dia juga ahli dalam ilmu geografi. Diantara karyanya adalah
Muuruj al-Zahab wa Ma'aadzin al-Jawahir.
Tokoh-tokoh terkenal
dalam bidang filsafat, antara lain al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd.
Al-Farabi banyak menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa,
kenegaraan, etika dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles. Ibn
Sina juga banyak mengarang buku tentang filsafat. Yang terkenal
diantaranya ialah asy-Syifa'. Ibn Rusyd yang di Barat lebih dikenal
dengan nama Averroes, banyak berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat,
sehingga di sana terdapat aliran yang disebut dengan Averroisme. Pada
masa kekhalifahan ini dunia Islam mengalami peningkatan besar-besaran di
bidang ilmu pengetahuan. Salah satu inovasi besar pada masa ini adalah
diterjemahkannya karya-karya di bidang pengetahuan, sastra, dan filosofi
dari Yunani, Persia, dan Hindustan.
Banyak golongan pemikir lahir
zaman ini, banyak diantara mereka bukan Islam dan bukan Arab Muslim.
Mereka ini memainkan peranan yang penting dalam menterjemahkan dan
mengembangkan karya Kesusasteraan Yunani dan Hindu, dan ilmu zaman
pra-Islam kepada masyarakat Kristen Eropa. Sumbangan mereka ini
menyebabkan seorang ahli filsafat Yunani yaitu Aristoteles terkenal di
Eropa. Tambahan pula, pada zaman ini menyaksikan penemuan ilmu geografi,
matematik, dan astronomi seperti Euclid dan Claudius Ptolemy. Ilmu-ilmu
ini kemudiannya diperbaiki lagi oleh beberapa tokoh Islam seperti
Al-Biruni dan sebagainya.
Demikianlah kemajuan politik dan
kebudayaan yang pernah dicapai oleh pemerintahan Islam pada masa klasik,
kemajuan yang tidak ada tandingannya di kala itu. Pada masa ini,
kemajuan politik berjalan seiring dengan kemajuan peradaban dan
kebudayaan, sehingga Islam mencapai masa keemasan, kejayaan dan
kegemilangan. Masa keemasan ini mencapai puncaknya terutama pada masa
kekuasaan Bani Abbas periode pertama. Namun sayang, setelah periode ini
berakhir, Islam mengalami masa kemunduran. Wallahul Musta’an.
Mamluk
Kekhalifahan Abbasiyah adalah yang pertama kali mengorganisasikan
penggunaan tentara-tentara budak yang disebut Mamluk pada abad ke-9.
Dibentuk oleh Al-Ma'mun, tentara-tentara budak ini didominasi oleh
bangsa Turki tetapi juga banyak diisi oleh bangsa Berber dari Afrika
Utara dan Slav dari Eropa Timur. Ini adalah suatu inovasi sebab
sebelumnya yang digunakan adalah tentara bayaran dari Turki.
Bagaimanapun
tentara Mamluk membantu sekaligus menyulitkan kekhalifahan Abbasiyah.
karena berbagai kondisi yang ada di umat muslim saat itu pada akhirnya
kekhalifahan ini hanya menjadi simbol dan bahkan tentara Mamluk ini
berhasil berkuasa dan mendirikan kesultanan di Mesir, dengan menyatakan
diri berada di bawah kekuasaan (simbolik) kekhalifahan.
Masa Berkuasanya Bani Buwaih
Faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas menurun adalah
perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan, dengan membiarkan jabatan
tetap dipegang bani Abbas, karena khalifah sudah dianggap sebagai
jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi,
sedangkan kekusaan dapat didirikan di pusat maupun daerah yang jauh dari
pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka.
Diantara Faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas menurun
adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan. Hal ini sebenarnya
juga terjadi pada pemerintahan-pemerintahan Islam sebelumnya. Tetapi,
apa yang terjadi pada pemerintahan Abbasiyah berbeda dengan yang terjadi
sebelumnya.
Pada masa pemerintahan Bani Abbas, perebutan
kekuasaan sering terjadi, terutama di awal berdirinya. Akan tetapi, pada
masa-masa berikutnya, seperti terlihat pada periode kedua dan
seterusnya, meskipun khalifah tidak berdaya, tidak ada usaha untuk
merebut jabatan khilafah dari tangan Bani Abbas. Yang ada hanyalah usaha
merebut kekuasaannya dengan membiarkan jabatan khalifah tetap dipegang
Bani Abbas. Hal ini terjadi karena khalifah sudah dianggap sebagai
jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi.
Sedangkan kekuasaan dapat didirikan di pusat maupun di daerah yang jauh
dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka.
Tentara Turki berhasil merebut kekuasaan tersebut. Di tangan mereka
khalifah bagaikan boneka yang tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan merekalah
yang memilih dan menjatuhkan khalifah sesuai dengan keinginan politik
mereka. Setelah kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki pada
periode kedua, pada periode ketiga (334-447 H/l055 M), daulah Abbasiyah
berada di bawah pengaruh kekuasaan Bani Buwaih.
Kehadiran Bani
Buwaih berawal dari tiga orang putera Abu Syuja' Buwaih, pencari ikan
yang tinggal di daerah Dailam, yaitu Ali, Hasan dan Ahmad. Untuk keluar
dari tekanan kemiskinan, tiga bersaudara ini memasuki dinas militer yang
ketika itu dipandang banyak mendatangkan rezeki. Pada mulanya mereka
bergabung dengan pasukan Makan Ibn Kali, salah seorang panglima perang
daerah Dailam. Setelah pamor Makan Ibn Kali memudar, mereka kemudian
bergabung dengan panglima Mardawij Ibn Zayyar al-Dailamy .Karena
prestasi mereka, Mardawij mengangkat Ali menjadi gubernur al-Karaj, dan
dua saudaranya diberi kedudukan penting lainnya. Dari al-Karaj itulah
ekspansi kekuasaan Bani Buwaih bermula. Pertama-tama Ali berhasil
menaklukkan daerah-daerah di Persia dan menjadikan Syiraz sebagai pusat
pemerintahan. Ketika Mardawij meninggal, Bani Buwaih yang bermarkas di
Syiraz itu berhasil menaklukkan beberapa daerah di Persia seperti Rayy,
Isfahan, dan daerah-daerah Jabal. Ali berusaha mendapat legalisasi dari
khalifah Abbasiyah, al-Radhi Billah dan mengirimkan sejumlah uang untuk
perbendaharaan negara. Ia berhasil mendapatkan legalitas itu. Kemudian
ia melakukan ekspansi ke Irak, Ahwaz, dan Wasith.
Dari sini
tentara Buwaih menuju Baghdad untuk merebut kekuasaan di pusat
pemerintahan. Ketika itu, Baghdad sedang dilanda kekisruhan politik,
akibat perebutan jabatan Amir al-Umara antara wazir dan pemimpin
militer. Para pemimpin militer meminta bantuan kepada Ahmad Ibn Buwaih
yang berkedudukan di Ahwaz. Permintaan itu dikabulkan. Ahmad dan
pasukannya tiba di Baghdad pada tanggal Jumadil-ula 334 H/945 M. Ia
disambut baik oleh khalifah dan langsung diangkat menjadi Amirul-Umara,
penguasa politik negara, dengan gelar Mu'izz al-Daulah. Saudaranya, Ali
Ibn Buwaih, yang memerintah di bagian selatan Persia dengan pusatnya di
Syiraz diberikan gelar Imad al-Daulah, dan Hasan Ibn Buwaih yang
memerintah di bagian utara, Isfahan dan Rayy, dianugerahi gelar Rukn
al-Daulah. Sejak itu, sebagaimana terhadap para pemimpin militer Turki
sebelumnya, para khalifah tunduk kepada Bani Buwaih. Pada masa
pemerintahan Bani Buwaih ini, para khalifah Abbasiyah benar-benar
tinggal namanya saja. Pelaksanaan pemerintahan sepenuhnya berada di
tangan amir-amir Bani Buwaih. Keadaan khalifah lebih buruk daripada masa
sebelumnya, terutama karena Bani Buwaih adalah penganut aliran Syi'ah,
sementara Bani Abbas adalah Sunni. Selama masa kekuasaan Bani Buwaih
sering terjadi kerusuhan antara kelompok Ahlussunnah dan Syi'ah,
pemberontakan tentara, dan sebagainya.
Setelah Baghdad dikuasai,
Bani Buwaih memindahkan markas kekuasaan dari Syiraz ke Baghdad. Mereka
membangun gedung tersendiri di tengah kota dengan nama Dar al-Mamlakah.
Meskipun demikian, kendali politik yang sebenarnya masih berada di
Syiraz, tempat Ali Ibn Buwaih (saudara tertua) bertahta. Dengan kekuatan
militer Bani Buwaih, beberapa dinasti kecil yang sebelumnya
memerdekakan diri dari Baghdad, seperti Bani Hamdan di wilayah Syria dan
Irak, Dinasti Samaniyah, dan Ikhsyidiyah, dapat dikendalikan kembali
dari Baghdad. Sebagaimana para khalifah Abbasiyah periode pertama, para
penguasa Bani Buwaih mencurahkan perhatian secara langsung dan
sungguh-sungguh terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan
kesusasteraan. Pada masa Bani Buwaih ini banyak bermunculan ilmuwan
besar, di antaranya al-Farabi (w. 950 M), Ibn Sina (980-1037 M),
al-Farghani, Abdurrahman al-Shufi (w. 986 M), Ibn Maskawaih (w. 1030 M),
Abu al-'Ala al-Ma'arri (973-1057 M), dan kelompok Ikhwan al-Shafa. Jasa
Bani Buwaih juga terlihat dalam pembangunan kanal-kanal, masjid-masjid,
beberapa rumah sakit, dan sejumlah bangunan umum lainnya. Kemajuan
tersebut diimbangi dengan laju perkembangan ekonomi, pertanian,
perdagangan, dan industri, terutama permadani.
Kekuatan politik
Bani Buwaih tidak lama bertahan. Setelah generasi pertama, tiga
bersaudara tersebut, kekuasaan menjadi ajang pertikaian diantara
anak-anak mereka. Masing-masing merasa paling berhak atas kekuasaan
pusat. Misalnya, pertikaian antara 'Izz al-Daulah Bakhtiar, putera
Mu'izz al-Daulah dan 'Adhad al-Daulah, putera Imad al-Daulah, dalam
perebutan jabatan amir al-umara. Perebutan kekuasaan di kalangan
keturunan Bani Buwaih ini merupakan salah satu faktor internal yang
membawa kemunduran dan kehancuran pemerintahan mereka. Faktor internal
lainnya adalah pertentangan dalam tubuh militer, antara golongan yang
berasal dari Dailam dengan keturunan Turki. Ketika Amir al-Umara dijabat
oleh Mu'izz al-Daulah persoalan itu dapat diatasi, tetapi manakala
jabatan itu diduduki oleh orang-orang yang lemah, masalah tersebut
muncul ke permukaan, mengganggu stabilitas dan menjatuhkan wibawa
pemerintah.
Sejalan dengan makin melemahnya kekuatan politik Bani
Buwaih, makin banyak pula gangguan dari luar yang membawa kepada
kemunduran dan kehancuran dinasti ini. Faktor-faktor eksternal tersebut
diantaranya adalah semakin gencarnya serangan-serangan Bizantium ke
dunia Islam, dan semakin banyaknya dinasti-dinasti kecil yang
membebaskan diri dari kekuasaan pusat di Baghdad. Daulah-daulah itu,
antara lain dinasti Fathimiyah yang memproklamasikan dirinya sebagai
pemegang jabatan khalifah di Mesir, Ikhsyidiyah di Mesir dan Syria,
Hamdan di Aleppo dan lembah Furat, Ghaznawi di Ghazna dekat kabul, dan
Dinasti Seljuk yang berhasil merebut kekuasaan dari tangan Bani Buwaih.
Masa Berkuasanya Bani Seljuk/Salajiqah Al-Kubro (Seljuk Agung) Seljuk (juga disebut Seljuq) atau
Turki Seljuk
(dalam Bahasa Turki:Selçuklular; dalam bahasa Persia: سلجوقيان
Ṣaljūqīyān; dalam Bahasa Arab سلجوق, Saljūq, atau السلاجقة al-Salājiqa)
adalah sebuah dinasti Islam yang pernah menguasai Asia Tengah dan Timur
Tengah dari abad ke 11 hingga abad ke 14. Mereka mendirikan kekaisaran
Islam yang dikenali sebagai Kekaisaran Seljuk Agung. Kekaisaran ini
terbentang dari Anatolia hingga ke Rantau Punjab di Asia Selatan.
Kekaisaran ini juga adalah sasaran utama Tentara Salib Pertama. Dinasti
ini diasaskan oleh suku Oghuz Turki yang berasal dari Asia Tengah.
Dinasti Seljuk juga menandakan penguasaan Bangsa Turki di Timur Tengah.
Pada hari ini, mereka dianggap sebagai pengasas kebudayaan Turki Barat
yang ketara di Azerbaijan, Turki dan Turkmenistan dan Seljuk juga
dianggap sebagai penaung Kebudayaan Persia
Masa Disintegrasi (1000-1250 M) – Daulah-daulah yang Melepaskan Diri dari Pemerintahan Baghdad
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan
kebudayaan Islam dari pada persoalan politik itu, propinsi-propinsi
tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas,
dengan berbagai cara diantaranya pemberontakan yang dilakukan oleh
pemimpin lokal dan mereka berhasil memperoleh kemerdekaan penuh.
Disintegrasi
dalam bidang politik sebenarnya sudah mulai terjadi di akhir zaman Bani
Umayyah. Akan tetapi berbicara tentang politik Islam dalam lintasan
sejarah, akan terlihat perbedaan antara pemerintahan Bani Umayyah dengan
pemerintahan Bani Abbas. Wilayah kekuasaan Bani Umayyah, mulai dari
awal berdirinya sampai masa keruntuhannya, sejajar dengan batas-batas
wilayah kekuasaan Islam. Hal ini tidak seluruhnya benar untuk diterapkan
pada pemerintahan Bani Abbas. Kekuasaan dinasti ini tidak pernah diakui
di Spanyol dan seluruh Afrika Utara, kecuali Mesir yang bersifat
sebentar-sebentar dan kebanyakan bersifat nominal. Bahkan dalam
kenyataannya, banyak daerah tidak dikuasai khalifah. Secara riil,
daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaan gubernur-gubernur propinsi
bersangkutan. Hubungannya dengan khilafah ditandai dengan pembayaran
pajak.
Ada kemungkinan bahwa para khalifah Abbasiyah sudah cukup
puas dengan pengakuan nominal dari propinsi-propinsi tertentu, dengan
pembayaran upeti itu. Alasannya adalah :
pertama, mungkin para khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk kepadanya,
kedua, penguasa Bani Abbas lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi.
Akibat
dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan
kebudayaan Islam daripada persoalan politik itu, propinsi-propinsi
tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas.
Ini bisa terjadi dalam salah satu dari dua cara: Pertama, seorang
pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh
kemerdekaan penuh, seperti daulah Umayyah di Spanyol dan Idrisiyyah di
Marokko. Kedua, seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah,
kedudukannya semakin bertambah kuat, seperti daulah Aghlabiyah di
Tunisia dan Thahiriyyah di Khurasan.
Kecuali Bani Umayyah di
Spanyol dan Idrisiyyah di Marokko, propinsi-propinsi itu pada mulanya
tetap patuh membayar upeti selama mereka menyaksikan Baghdad stabil dan
khalifah mampu mengatasi pergolakan-pergolakan yang muncul. Namun pada
saat wibawa khalifah sudah memudar mereka melepaskan diri dari kekuasaan
Baghdad. Mereka bukan saja menggerogoti kekuasaan khalifah, tetapi
beberapa diantaranya bahkan berusaha menguasai khalifah itu sendiri.
Menurut
Ibnu Khaldun, sebenarnya keruntuhan kekuasaan Bani Abbas mulai terlihat
sejak awal abad kesembilan. Fenomena ini mungkin bersamaan dengan
datangnya pemimpin-pemimpin yang memiliki kekuatan militer di
propinsi-propinsi tertentu yang membuat mereka benar-benar independen.
Kekuatan militer Abbasiyah waktu itu mulai mengalami kemunduran. Sebagai
gantinya, para penguasa Abbasiyah mempekerjakan orang-orang profesional
di bidang kemiliteran, khususnya tentara Turki dengan sistem perbudakan
baru seperti diuraikan di atas. Pengangkatan anggota militer Turki ini,
dalam perkembangan selanjutnya teryata menjadi ancaman besar terhadap
kekuasaan khalifah. Apalagi pada periode pertama pemerintahan dinasti
Abbasiyah, sudah muncul fanatisme kebangsaan berupa gerakan syu'u
arabiyah (kebangsaan/anti Arab).
Gerakan inilah yang banyak
memberikan inspirasi terhadap gerakan politik, disamping
persoalan-persoalan keagamaan. Nampaknya, para khalifah tidak sadar akan
bahaya politik dari fanatisme kebangsaan dan aliran keagamaan itu,
sehingga meskipun dirasakan dalam hampir semua segi kehidupan, seperti
dalam kesusasteraan dan karya-karya ilmiah, mereka tidak
bersungguh-sungguh menghapuskan fanatisme tersebut, bahkan ada diantara
mereka yang justru melibatkan diri dalam konflik kebangsaan dan
keagamaan itu.
Dinasti-dinasti yang lahir dan melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khilafah Abbasiyah, diantaranya adalah:
A.Yang berbangsa Persia: 1.Bani Thahiriyyah di Khurasan, (205-259 H/820-872 M).
2.Bani Shafariyah di Fars, (254-290 H/868-901 M).
3.Bani Samaniyah di Transoxania, (261-389 H/873-998 M).
4.Bani Sajiyyah di Azerbaijan, (266-318 H/878-930 M).
5.Bani Buwaihiyyah,bahkan menguasai Baghdad,(320-447 H/ 932-1055 M).
B.Yang berbangsa Turki: 1.Thuluniyah di Mesir, (254-292 H/837-903 M).
2.Ikhsyidiyah di Turkistan, (320-560 H/932-1163 M).
3.Ghaznawiyah di Afganistan, (351-585 H/962-1189 M).
4.Daulah Bani Seljuk/Salajiqah dan cabang-cabangnya:
a. Seljuk besar, atau seljuk Agung, didirikan oleh Rukn al-Din Abu
Thalib Tuqhril Bek ibn Mikail ibn Seljuk ibn Tuqaq. Seljuk ini menguasai
Baghdad dan memerintah selama sekitar 93 tahun (429-522H/1037-1127 M).
Dan Sulthan Alib Arselan Rahimahullah memenangkan perang salib ke I atas
kaisar Romanus IV dan berhasil menawannya.
b. Seljuk Kinnan di Kirman, (433-583 H/1040-1187 M).
c. Seljuk Syria atau Syam di Syria,(487-511 H/1094-1117 M).
d. Seljuk Irak di Irak dan Kurdistan, (511-590 H/1117-1194 M).
e. Seljuk Ruum atau Asia kecil di Asia tengah(Jazirah Anatolia),(470-700 H/1077-1299 M).
C.Yang berbangsa Kurdi: 1.al-Barzuqani, (348-406 H/959-1015 M).
2.Abu 'Ali, (380-489 H/990-1095 M).
3.al-Ayyubiyyah, (564-648 H/1167-1250 M) Didirikan oleh Sulthan
Shalahuddin al-ayyubi setelah keberhasilannya memenangkan perang salib
periode ke III.
D.Yang berbangsa Arab: 1.Idrisiyyah di Maghrib, (172-375 H/788-985 M).
2.Aghlabiyyah di Tunisia (184-289 H/800-900 M).
3.Dulafiyah di Kurdistan, (210-285 H/825-898 M).
4.'Alawiyah di Thabaristan, (250-316 H/864-928 M).
5.Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil, (317-394 H/929- 1002 M).
6.Mazyadiyyah di Hillah, (403-545 H/1011-1150 M).
7.Ukailiyyah di Maushil, (386-489 H/996-1 095 M).
8.Mirdasiyyah di Aleppo, (414-472 H/1023-1079 M
E.Yang mengaku dirinya sebagai khilafah: 1.Umawiyah di Spanyol.
2.Daulah Syi’ah Fathimiyah di Mesir.
Dari
latar belakang dinasti-dinasti itu, nampak jelas adanya persaingan
antarbangsa, terutama antara Arab, Persia dan Turki. Disamping latar
belakang kebangsaan, dinasti-dinasti itu juga dilatar belakangi paham
keagamaan, ada yang berlatar belakang Syi'ah, ada yang Sunni.
Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada masa ini, sehingga banyak daerah memerdekakan diri, adalah:
1.
Luasnya wilayah kekuasaan daulah Abbasiyyah sementara komunikasi pusat
dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling
percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat
rendah.
2. Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
3.
Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk
tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun,
khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
Perang Salib (Masa Disintegrasi)
Perang Salib (perang suci) ini terjadi pada tahun 1095 M, saat Paus
Urbanus II berseru kepada Umat Kristen di Eropa untuk melakukan perang
suci, untuk memperoleh kembali keleluasaan berziarah di Baitul Maqdis
yang dikuasai oleh Penguasa Seljuk yang menetapkan beberapa peraturan
yang memberatkan bagi Umat kristen yang hendak berziarah ke sana.
Sebagaimana
telah disebutkan, peristiwa penting dalam gerakan ekspansi yang
dilakukan oleh Alp Arselan adalah peristiwa Manzikert, tahun 464 H (1071
M). Tentara Sulthan Alp Arselan Rahimahullah yang hanya berkekuatan
15.000 prajurit, dalam peristiwa ini berhasil mengalahkan tentara Romawi
yang berjumlah 2.000.000 orang, terdiri dari tentara Romawi, Ghuz,
al-Akraj, al-Hajr, Perancis dan Armenia. Peristiwa besar ini menanamkan
benih permusuhan dan kebencian orang-orang Kristen terhadap umat Islam,
yang kemudian mencetuskan Perang Salib. Kebencian itu bertambah setelah
Dinasti Seljuk dapat merebut Baitul-Maqdis pada tahun 471 H dari
kekuasaan dinasti Fathimiyah yang berkedudukan di Mesir. Penguasa Seljuk
menetapkan beberapa peraturan bagi umat Kristen yang ingin berziarah ke
sana. Peraturan itu dirasakan sangat menyulitkan mereka. Untuk
memperoleh kembali keleluasaan berziarah ke tanah suci Kristen itu, pada
tahun 1095 M, Paus Urbanus II berseru kepada umat Kristen di Eropa
supaya melakukan perang SUCI. Perang ini kemudian dikenal dengan nama
Perang Salib, yang terjadi dalam tiga periode.
1. Periode Pertama
Pada musim semi tahun 1095 M; 150.000 orang Eropa, sebagian besar
bangsa Perancis dan Norman, berangkat menuju Konstantinopel, kemudian ke
Palestina. Tentara Salib yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan
Raymond ini memperoleh kemenangan besar. Pada tanggal 18 Juni 1097
mereka berhasil menaklukkan Nicea dan tahun 1098 M menguasai Raha
(Edessa). Di sini mereka mendirikan kerajaan Latin I dengan Baldawin
sebagai raja. Pada tahun yang sama mereka dapat menguasai Antiochea dan
mendirikan kerajaan latin II di Timur. Bohemond dilantik menjadi
rajanya. Mereka juga berhasil menduduki Baitul-Maqdis (15 Juli 1099 M)
dan mendirikan kerajaan Latin III dengan rajanya, Godfrey. Setelah
penaklukan Baitul-Maqdis itu, tentara Salib melanjutkan ekspansinya.
Mereka menguasai kota Akka (1104 M), Tripoli (1109 M) dan kota Tyre
(1124 M). Di Tripoli mereka mendirikan kerajaan Latin IV, Rajanya adalah
Raymond.
2. Periode Kedua Syeikh Imaduddin
Zanki Rahimahullah, penguasa Moshul dan Irak, berhasil menaklukkan
kembali Aleppo, Hamimah, dan Edessa pada tahun 1144 M. Namun ia wafat
tahun 1146 M. Tugasnya dilanjutkan oleh puteranya, Syeikh Nuruddin Zanki
Rahimahullah. Syeikh Nuruddin Rahimahullah berhasil merebut kembali
Antiokhia pada tahun 1149 M dan pada tahun 1151 M seluruh Edessa dapat
direbut kembali.
Kejatuhan Edessa ini menyebabkan orang-orang
Kristen mengobarkan Perang Salib kedua. Paus Eugenius III menyampaikan
perang suci yang disambut positif oleh raja Perancis Louis VII dan raja
Jerman Condrad II. Keduanya memimpin pasukan Salib untuk merebut wilayah
Kristen di Syria. Akan tetapi, gerak maju mereka dihambat oleh Syeikh
Nuruddin Zanki Rahimahullah. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus.
Louis VII dan Condrad II sendiri melarikan diri pulang ke negerinya.
Syeikh Nuruddin Rahimahullah wafat tahun 1174 M. Pimpinan perang
kemudian dipegang oleh Sulthan Shalahuddin al-Ayyubi Rahimahullah yang
berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyah di Mesir tahun 1175 M. Hasil
peperangan Shalahuddin Rahimahullah yang terbesar adalah merebut kembali
Yerussalem pada tahun 1187 M. Dengan demikian kerajaan latin di
Yerussalem yang berlangsung selama 88 tahun berakhir.
Jatuhnya
Yerussalem ke tangan kaum muslimin sangat memukul perasaan tentara
salib. Mereka pun menyusun rencana balasan. Kali ini tentara salib
dipimpin oleh Frederick Barbarossa, raja Jerman, Richard the LeonHart,
raja Inggris, dan Philip Augustus, raja Perancis. Pasukan ini bergerak
pada tahun 1189 M. Meskipun mendapat tantangan berat dari Shalahuddin,
namun mereka berhasil merebut Akka yang kemudian dijadikan ibu kota
kerajaan Latin. Akan tetapi mereka tidak berhasil memasuki Palestina.
Pada tanggal 2 Nopember 1192 M, dibuat perjanjian antara tentara salib
dengan Shalahuddin yang disebut dengan Shulh al-Ramlah. Dalam perjanjian
ini disebutkan bahwa orang-orang Kristen yang pergi berziarah ke
Baitul-Maqdis tidak akan diganggu.
3. Periode Ketiga
Tentara Salib pada periode ini dipimpin oleh raja Jerman, Frederick II.
Kali ini mereka berusaha merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke
Palestina, dengan harapan dapat bantuan dari orang-orang Kristen Qibthi.
Pada tahun 1219 M, mereka berhasil menduduki Dimyat. Raja Mesir dari
dinasti Ayyubiyah waktu itu, al-Malik al-Kamil, membuat penjanjian
dengan Frederick. Isinya antara lain Frederick bersedia melepaskan
Dimyat, sementara al-Malik al-Kamil melepaskan Palestina, Frederick
menjamin keamanan kaum muslimin di sana, dan Frederick tidak mengirim
bantuan kepada Kristen di Syria. Dalam perkembangan berikutnya,
Palestina dapat direbut kembali oleh kaum muslimin tahun 1247 M, di masa
pemerintahan al-Malik al-Shalih, penguasa Mesir selanjutnya. Ketika
Mesir dikuasai oleh dinasti Mamalik yang menggantikan posisi daulah
Ayyubiyyah, pimpinan perang dipegang oleh Baybars, Qalawun dan Syaikhul
Islam Ibn Taimiyyah. Pada masa merekalah Akka dapat direbut kembali oleh
kaum muslimin, tahun 1291 M. Demikianlah Perang Salib yang berkobar di
Timur. Perang ini tidak berhenti di Barat, di Spanyol, sampai umat Islam
terusir dari sana.
Walaupun umat Islam berhasil mempertahankan
daerah-daerahnya dari tentara Salib, namun kerugian yang mereka derita
banyak sekali, karena peperangan itu terjadi di wilayahnya.
Kerugian-kerugian ini mengakibatkan kekuatan politik umat Islam menjadi
lemah. Dalam kondisi demikian mereka bukan menjadi bersatu, tetapi malah
terpecah belah. Banyak daulah kecil yang memerdekakan diri dari
pemerintahan pusat Abbasiyah di Baghdad.
(1250 -1500 M) – Serangan Bangsa Mongol dan berkuasanya Daulah Ilkhan
Pada tahun 565 H/1258 M, tentara Mongol yang berkekuatan sekitar
200.000 orang tiba di salah satu pintu Baghdad. Khalifah Al-Mu'tashim II
betul-betul tidak berdaya dan tidak mampu membendung "topan" tentara
Hulaghu Khan. Kota Baghdad dihancurkan rata dengan tanah, dan Hulaghu
Khan menancapkan kekuasaan di Baghdad selama dua tahun, sebelum
melanjutkan serangan ke Syria dan Mesir.
Jatuhnya kota Baghdad
pada tahun 1258 M ke tangan bangsa Mongol bukan saja mengakhiri
kekuasaan khilafah Bani Abbasiyah di sana, tetapi juga merupakan awal
dari masa kemunduran politik dan peradaban Islam, karena Baghdad sebagai
pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah
ilmu pengetahuan itu ikut pula lenyap dibumihanguskan oleh pasukan
Mongol yang dipimpin Hulaghu Khan tersebut.
Bangsa Mongol berasal
dari daerah pegunungan Mongolia yang membentang dari Asia Tengah sampai
ke Siberia Utara, Tibet Selatan dan Manchuria Barat serta Turkistan
Timur. Nenek moyang mereka bernama Alanja Khan, yang mempunyai dua
putera kembar, Tar-tar dan Mongol. Kedua putera itu melahirkan dua suku
bangsa besar, Mongol dan Tar-tar. Mongol mempunyai anak bernama Ilkhan,
yang melahirkan keturunan pemimpin bangsa Mongol di kemudian hari.
Dalam
rentang waktu yang sangat panjang, kehidupan bangsa Mongol tetap
sederhana. Mereka mendirikan kemah-kemah dan berpindah-pindah dari satu
tempat ke tempat lain, menggembala kambing dan hidup dari hasil buruan.
Mereka juga hidup dari hasil perdagangan tradisional, yaitu
mempertukarkan kulit binatang dengan binatang yang lain, baik di antara
sesama mereka maupun dengan bangsa Turki dan Cina yang menjadi tetangga
mereka. Sebagaimana umumnya bangsa nomaden, orang-orang Mongol mempunyai
watak yang kasar, suka berperang, dan berani menghadang maut dalam
mencapai keinginannya. Akan tetapi, mereka sangat patuh kepada
pemimpinnya. Mereka menganut agama Syamaniah (Syamanism), menyembah
bintang-bintang, dan sujud kepada matahari yang sedang terbit.
Kemajuan
bangsa Mongol secara besar-besaran terjadi pada masa kepemimpinan
Yasugi Bahadur Khan. la herhasil menyatukan 13 kelompok suku yang ada
waktu itu. Setelah Yasugi meninggal, puteranya, Timujin yang masih
berusia 13 tahun tampil sebagai pemimpin. Dalam waktu 30 tahun, ia
berusaha memperkuat angkatan perangnya dengan menyatukan hangsa Mongol
dengan suku bangsa lain sehingga menjadi satu pasukan yang teratur dan
tangguh. Pada tahun 1206 M, ia mendapat gelar Jenggis Khan, Raja Yang
Perkasa. la menetapkan suatu undang-undang yang disebutnya Ilyasiq atau
Alyasah, untuk mengatur kehidupan rakyatnya. Wanita mempunyai
kewajiban/yang sama dengan laki-laki dalam kemiliteran. Pasukan perang
dibagi dalam beberapa kelompok besar dan kecil, seribu, dua ratus, dan
sepuluh orang. Tiap-tiap kelompok dipimpin oleh seorang komandan. Dengan
demikian bangsa Mongol mengalami kemajuan pesat di bidang militer.
Setelah
pasukan perangnya terorganisasi dengan baik, Jenggis Khan berusaha
memperluas wilayah kekuasaan dengan melakukan penaklukan terhadap
daerah-daerah lain. Serangan pertama diarahkan ke kerajaan Cina. la
herhasil menduduki Peking tahun 1215 M. Sasaran selanjutnya adalah
negeri-negeri Islam. Pada tahun 606 H/1209 M, tentara Mongol keluar dari
negerinya dengan tujuan Turki dan Ferghana, kemudian terus ke
Samarkand. Pada mulanya mereka mendapat perlawanan berat dari penguasa
Khawarizm, Sulthan Alauddin di Turkistan. Pertempuran berlangsung
seimbang. Karena itu, masing-masing kembali ke negerinya. Sekitar
sepuluh tahun kemudian mereka masuk Bukhara, Samarkand, Khurasan,
Hamadzan, Quzwain, dan sampai ke perbatasan Irak.
Di Bukhara, ibu
kota Khawarizm, mereka kembali mendapat perlawanan dari Sulthan
Alauddin, tetapi kali ini mereka dengan mudah dapat mengalahkan pasukan
Khawarizm, Sulthan Alauddin tewas dalam pertempuran di Mazindaran tahun
1220 M. la digantikan oleh puteranya, Jalalluddin yang kemudian
melarikan diri ke India karena terdesak dalam pertempuran di dekat
Attock tahun 1224 M. Dari sana pasukan Mongol terus merangsek ke
Azerbaijan: Di setiap daerah yang dilaluinya, pembunuhan besar-besaran
terjadi. Bangunan-bangunan indah dihancurkan sehingga tidak berbentuk
lagi, demikian juga isi bangunan yang sangat bernilai sejarah.
Sekolah-sekolah, mesjid-mesjid dan gedung-gedung lainnya dibakar.
Pada
saat kondisi fisiknya mulai lemah, Jengis Khan membagi wilayah
kekuasaannya menjadi empat bagian kepada empat orang puteranya, yaitu
Juchi, Chagatai, Ogotai dan Tuli. Chagatai berusaha menguasai kembali
daerah-daerah Islam yang pemah ditaklukkan dan berhasil merebut Illi,
Ferghana, Rayy, Hamazan, dan Azerbaijan. Sulthan Khawarizm, Jalaluddin
berusaha keras membendung serangan tentara Mongol ini, namun Khawarizm
tidak sekuat dulu. Kekuatannya sudah banyak terkuras dan akhirnya
terdesak. Sulthan melarikan diri. Di sebuah daerah pegunungan ia dibunuh
oleh seorang Kurdi. Dengan demikian, berakhirlah kerajaan Khawarizm.
Kematian Sulthan Khawarizmsyah itu membuka jalan bagi Chagatai untuk
melebarkan sayap kekuasaannya dengan lebih leluasa.
Saudara
Chagatai, Tuli Khan menguasai Khurasan. Karena kerajaan-kerajaan Islam
sudah terpecah belah dan kekuatannya sudah lemah. Tuli dengan mudah
dapat menguasai Irak. la meninggal tahun 654 H/1256 M, dan digantikan
oleh puteranya, Hulagu Khan. Pada tahun 656 H/1258 M, tentara Mongol
yang berkekuatan sekitar 200.000 orang tiba di salah satu pintu Baghdad.
Khalifah al-Mu'tashim II, penguasa terakhir Bani Abbas di Baghdad (1243
- 1258), betul-betul tidak mampu membendung "topan" tentara Hulagu
Khan. Pada saat yang kritis tersebut, wazir khilafah Abbasiyah, Ibn
Alqami ingin mengambil kesempatan dengan menipu khalifah. la mengatakan
kepada khalifah. "Saya telah menemui mereka untuk perjanjian damai. Raja
(Hulagu Khan) ingin mengawinkan anak perempuannya dengan Abu Bakr Ibn
Mu'tashim. putera khalifah. Dengan demikian, Hulagu Khan akan menjamin
posisimu. la tidak menginginkan sesuatu kecuali kepatuhan, sebagaimana
kakek- kakekmu terhadap sulthan-sulthan Seljuk.
Khalifah menerima
usul itu. la keluar bersama beberapa orang pengikut dengan membawa
mutiara, permata dan hadiah-hadiah berharga lainnya untuk diserahkan
kepada Hulagu Khan. Hadiah-hadiah itu dibagi-bagikan Hulagu kepada para
panglimanya. Keberangkatan khalifah disusul oleh para pembesar istana
yang terdiri dari ahli fikih dan orang-orang terpandang. Tetapi,
sambutan Hulagu Khan sungguh di luar dugaan khalifah. Apa yang dikatakan
wazirnya temyata tidak benar. Mereka semua. termasuk wazir sendiri.
dibunuh dengan leher dipancung secara bergiliran.
Dengan
pembunuhan yang kejam ini berakhirlah kekuasaan Abbasiyah di Baghdad.
Kota Baghdad sendiri dihancurkan rata dengan tanah, sebagaimana
kota-kota lain yang dilalui tentara Mongol tersebut. Walaupun sudah
dihancurkan, Hulagu Khan memantapkan kekuasaannya di Baghdad selama dua
tahun, sebelum melanjutkan gerakan ke Syria dan Mesir. Dari Baghdad
pasukan Mongol menyeberangi sungai Euphrat menuju Syria, kemudian
melintasi Sinai, Mesir. Pada tahun 1260 M mereka berhasil menduduki
Nablus dan Gaza. Panglima tentara Mongol, Kitbugha, mengirim utusan ke
Mesir meminta supaya Sultan Quthuz yang menjadi raja kerajaan Mamalik di
sana menyerah. Permintaan itu ditolak oleh Quthuz dan Syaikhul Islam
Al-Imam Ibn Taimiyyah Rahimahullah, bahkan utusan Kitbugha dibunuhnya.
Tindakan
Quthuz ini menimbulkan kemarahan di kalangan tentara Mongol. Kitbugha
kemudian melintasi Yordania menuju Galilie. Pasukan ini bertemu dengan
pasukan Mamalik yang dipimpin langsung oleh Quthuz dan Baybars dan
didampingi oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah Rahimahullah di 'Ain Jalut.
Pertempuran dahsyat terjadi, pasukan Mamalik berhasil menghancurkan
serta mengalahkan tentara Mongol pada tanggal 3 September 1260 M.
Baghdad
dan daerah-daerah yang ditaklukkan Hulagu selanjutnya diperintah oleh
dinasti Ilkhan. Ilkhan adalah gelar yang diberikan kepada Hulaghu.
Daerah yang dikuasai dinasti ini adalah daerah yang ter1etak antara Asia
Kecil di barat dan India di timur, dengan ibukotanya Tabriz dan
dipimpin oleh Hulagu Khan, seorang raja yang beragama Syamanism. Hulagu
meninggal tahun 1265 M dan diganti oleh anaknya, Abaga ( 1265-1282 M)
yang masuk Kristen. Baru rajanya yang ketiga, Ahmad Teguder ( 1282-1284
M), yang masuk Islam. Karena masuk Islam, Ahmad Teguder ditantang oleh
pembesar- pembesar kerajaan yang lain. Akhimya, ia ditangkap dan dibunuh
oleh Arghun yang kemudian menggantikannya menjadi raja (1284-1291 M).
Raja dinasti Ilkhan yang keempat ini sangat kejam terhadap umat Islam.
Banyak di antara mereka yang dibunuh dan diusir .
Selain Teguder,
Mahmud Ghazan (1295-1304 M), raja yang ketujuh, dan raja-raja
selanjutnya adalah pemeluk agama Islam. Dengan masuk Islamnya Mahmud
Ghazan yang sebelumnya beragama Budha, Islam meraih kemenangan yang
sangat besar terhadap agama Syamanisme. Sejak itu pula orang-orang
Persia, arab dan turki mendapatkan kemerdekaannya kembali . Berbeda
dengan raja-raja sebelumnya, Ghazan mulai memperhatikan perkembangan
peradaban. la seorang pelindung ilmu pengetahuan dan sastera. la amat
gemar kepada kesenian terutama arsitektur dan ilmu pengetahuan alam
seperti astronomi, kimia, mineralogi, metalurgi dan botani.
la
membangun semacam biara untuk para darwis, perguruan tinggi untuk
madzhab Syafi'i dan Hanafi, sebuah perpustakaan, observatorium, dan
gedung-gedung umum lainnya. la wafat dalam usia muda, 32 tahun, dan
digantikan oleh Muhammad Khudabanda Uljeitu (1304-1317 M), seorang
penganut syi'ah yang ekstrem. la mendirikan kota raja Sultaniyah, dekat
Zan-jan. Pada masa pemerintahan Abu Sa'id (1317-1335 M), pengganti
Muhammad Khudabanda, terjadi bencana kelaparan yang sangat menyedihkan
dan angin topan dengan hujan es yang mendatangkan malapetaka. Kerajaan
Ilkhan yang didirikan Hulagu Khan ini terpecah belah sepeninggal Abu
Sa'id. Masing-masing pecahan saling memerangi. Akhirnya, mereka semua
ditaklukkan oleh Timur Lenk.
Serangan-Serangan Dari Timur Lenk
Sulthan Timur Lenk merupakan keturunan Mongol yang sudah masuk Islam,
dimana sisa-sisa kebiadaban dan kekejaman masih melekat kuat. Dia
berhasil mengalahkan Tughluk Temur dan Ilyas Khoja, dan kemudian dia
juga melawan Amir Hussain (iparnya sendiri). Dan dia memproklamirkan
dirinya sebagai penguasa tunggal di Transoxiana, pelanjut Jagatai dari
keturunan Jengis Khan.
Setelah lebih dari satu abad umat Islam
menderita dan berusaha bangkit dari kehancuran akibat serangan bangsa
Mongol di bawah Hulagu Khan, malapetaka yang tidak kurang dahsyatnya
datang kembali, yaitu serangan yang juga dari keturunan bangsa Mongol.
Berbeda dari Hulagu Khan dan keturunannya pada dinasti Ilkhan, penyerang
kali ini sudah masuk Islam, tetapi sisa-sisa kebiadaban dan kekejaman
masih melekat kuat. Serangan itu dipimpin oleh Timur Lenk, yang berarti
Timur si Pincang.
Sang penakluk ini lahir dekat Kesh (sekarang
Khakhrisyabz, "kota hijau", Uzbekistan), sebelah selatan Samarkand di
Transoxiana, pada tanggal 8 April 1336 M/25 Sya'ban 736 H, dan meninggal
di Otrar pada tahun 1404 M. Ayahnya bernama Taragai, kepala suku
Barlas, keturunan Karachar Noyan yang menjadi menteri dan kerabat
Jagatai, putera Jengis Khan. Suku Barlas mengikuti Jagatai mengembara ke
arah barat dan menetap di Samarkand. Taragai menjadi gubernur Kesh.
Keluarganya mengaku keturunan Jengis Khan sendiri.
Sejak usia
masih sangat muda, keberanian dan keperkasaannya yang luar biasa sudah
terlihat. Ia sering diberi tugas untuk menjinakkan kuda-kuda binal yang
sulit ditunggangi dan memburu binatang-binatang liar. Sewaktu berumur 12
tahun, ia sudah terlibat dalam banyak peperangan dan menunjukkan
kehebatan dan keberanian yang mengangkat dan mengharumkan namanya di
kalangan bangsanya. Akan tetapi, baru setelah ayahnya meninggal, sejarah
keperkasaannya bermula setelah Jagatai wafat, masing-masing Amir
melepaskan diri dari pemerintahan pusat. Timur Lenk mengabdikan diri
pada Gubernur Transoxiana, Amir Qazaghan Ketika Qazaghan meninggal
dunia, datang serbuan dari Tughluq Temur Khan, pemimpin Moghulistan,
yang menjarah dan menduduki Transoxiana. Timur Lenk bangkit memimpin
perlawanan untuk membela nasib kaumnya yang tertindas. Tughluq Temur
setelah melihat keberanian dan kehebatan Timur, menawarkan kepadanya
jabatan gubernur di negeri kelahirannya. Tawaran itu diterima. Akan
tetapi, setahun setelah Timur Lenk diangkat menjadi gubernur, tahun 1361
M, Tughluq Temur mengangkat puteranya, Ilyas Khoja menjadi gubernur
Samarkand dan Timur Lenk menjadi wazirya. Tentu saja Timur Lenk menjadi
berang. Ia segera bergabung dengan cucu Qazaghan, Amir Husain,
mengangkat senjata memberontak terhadap Tughluq Temur.
Timur Lenk
berhasil mengalahkan Tughluq Temur dan Ilyas Khoja. Keduanya dibinasakan
dalam pertempuran. Ambisi Timur Lenk untuk menjadi raja besar segera
muncul. Karena ambisi itulah ia kemudian berbalik memaklumkan perang
melawan Amir Husain, walaupun iparnya sendiri. Dalam pertempuran antara
keduanya, ia berhasil mengalahkan dan membunuh Amir Husain di Balkh.
Setelah itu, ia memproklamirkan dirinya sebagai penguasa tunggal di
Transoxiana, pelanjut Jagatai dan keturunan Jengis Khan, pada 10 April
1370 M. Sepuluh tahun pertama pemerintahannya, ia berhasil menaklukkan
Jata dan Khawarizm dengan sembilan ekspedisi.
Setelah Jata dan
Khawarizm dapat ditaklukkan, kekuasaannya mulai kokoh. Ketika itulah
Timur Lenk mulai menyusun rencana untuk mewujudkan ambisinya menjadi
penguasa besar, dan berusaha menaklukkan daerah-daerah yang pernah
dikuasai oleh Jengis Khan. Ia berkata, "Sebagaimana hanya ada satu Tuhan
di alam ini, maka di bumi seharusnya hanya ada seorang raja".
Pada
tahun 1381 M ia menyerang dan berhasil menaklukkan Khurasan. Setelah
itu serbuan ditujukan ke arah Herat. Di sini ia juga keluar sebagai
pemenang. Ia tidak berhenti sampai di situ, tetapi terus melakukan
serangan ke negeri-negeri lain dan berhasil menduduki negeri-negeri di
Afganistan, Persia, Fars dan Kurdistan. Di setiap negeri yang
ditaklukkannya, ia membantai penduduk yang melakukan perlawanan. Di
Sabzawar, Afganistan, bahkan ia membangun menara, disusun dari 2000
mayat manusia yang dibalut dengan batu dan tanah liat. Di Isfa, ia
membantai lebih kurang 70.000 penduduk. Kepala-kepala dari mayat-mayat
itu dipisahkan dari tubuhnya dan disusun menjadi menara. Dari sana ia
melanjutkan ekspansinya ke Irak, Syria dan Jazirah Anatolia (Turki).
Pada
Tahun 1393 M ia menghancurkan dinasti Muzhaffari di Fars dan membantai
amir-amirnya yang masih hidup. Pada tahun itu pula Baghdad dijarahnya,
dan setahun kemudian ia berhasil menduduki Mesopotamia. Penguasa Baghdad
itu, Sultan Ahmad Jalair, melarikan diri ke Syria. Ia kemudian menjadi
Vassal dari Sultan Mesir, Al-Malik al-Zahir Barquq. Penguasa dinasti
Mamalik yang berpusat di Mesir ini adalah satu-satunya raja yang tidak
mau dan tidak berhasil ditundukkannya. Utusan-utusan Timur Lenk yang
dikirim ke Mesir untuk perjanjian damai, sebagian dibunuh dan sebagian
lagi diperhinakan, kemudian disuruh pulang ke Timur Lenk. Mesir,
sebagaimana pada masa serangan-serangan Hulagu Khan, kembali selamat
dari serang bangsa Mongol. Karena Sultan Barquq tidak mau mengekstradisi
Ahmad Jalair yang berada dalam perlindungannya, Timur Lenk kemudian
melancarkan invasi ke Asia Kecil menjarah kota-kota yaitu, Tikrit,
Mardin dan Amid. Di Tikrit, kota kelahiran Shalahuddin al-Ayyubi, ia
membangun sebuah piramida dari tengkorak kepala korban-korbannya.
Pada
tahun 1395 M ia menyerbu daerah Qipchak, kemudian menaklukkan Moskow
yang didudukinya selama lebih dari setahun. Tiga tahun kemudian ia
menyerang India. Konon alasan penyerbuannya adalah karena ia menganggap
penguasa muslim di daerah ini terlalu toleran terhadap penganut Hindu.
Ia sendiri berpendapat, semestinya penguasa muslim itu memaksakan Islam
kepada penduduknya. Di India ia membantai lebih dari 80.000 tawanan.
Dalam
rangka pembangunan masjid di Samarkand, ia membutuhkan batu-batu besar.
Untuk itu, 90 ekor gajah dipekerjakan mengangkat batu-batu besar itu
dari Delhi ke Samarkand. Setelah fondasi masjid dibangun, tahun 1399 M
Timur Lenk berangkat memerangi Sultan Mamalik di Mesir yang membantu
Ahmad Jalair, penguasa Mongol di Baghdad yang lari ketika ia menduduki
kota itu sebelumnya, dan memerangi Daulah Bani Ustmani di bawah Sulthan
Yildirim Bayazid I Rahimahullah. Dalam perjalanannya itu, ia menaklukkan
Georgia. Di kota Sivas, Anatolia sekitar 4000 tentara Armenia dikubur
hidup-hidup untuk memenuhi sumpahnya bahwa darah tidak akan tertumpah
bila mereka menyerah.
Pada tahun 1401 M ia memasuki daerah Syria
bagian utara. Tiga hari lamanya Aleppo dihancurleburkan. Kepala dari
20.000 penduduk dibuat piramida setinggi 10 hasta dan kelilingnya 20
hasta dengan wajah mayat menghadap keluar. Banyak bangunan seperti
sekolah dan masjid yang berasal dari zaman Nuruddin Zanki dan Ayyubi
dihancurkan. Hamah, Horns dan Ba'labak berturut-turut jatuh ketangannya.
Pasukan Sultan Faraj dari Kerajaan Mamalik dapat dikalahkannya dalam
suatu pertempuran dahsyat sehingga Damaskus jatuh ke tangan pasukan
Timur lenk pada tahun 1401 M.
Akibat peperangan itu masjid Umayyah
yang bersejarah rusak berat tinggal dinding-dindingnya saja yang masih
tegak. Dari Damaskus para seniman ulung dan pekerja atau tukang yang
ahli dibawanya ke Samarkand. Ia memerintahkan ulama yang menyertainya
untuk mengeluarkan fatwa membenarkan tindakan-tindakannya itu. Setelah
itu serangan dilanjutkan ke Baghdad. Ketika Baghdad berhasil
ditaklukkan, ia melakukan pembantaian besar-besaran terhadap 20.000
penduduk sebagai pembalasan atas pembunuhan terhadap banyak tentaranya
sewaktu mengepung kota itu. Di sini, seperti kebiasaannya, ia kemudian
mendirikan 120 buah piramida dari kepala mayat-mayat sebagai tanda
kemenangan.
Daulah Bani Ustmani, oleh Timur Lenk dipandang sebagai
tantangan terbesar, karena kerajaan ini menguasai banyak daerah bekas
imperium Jengis Khan dan Hulagu Khan. Bahkan, Sulthan Yildirim Bayazid I
Rahimahullah, penguasa tertinggi kerajaan ini sebelumnya berhasil
meluaskan daerah kekuasaannya ke daerah-daerah yang sudah ditaklukkan
oleh Timur Lenk. Karena itu Timur Lenk sangat berambisi mengalahkan
kerajaan ini. Ia mengerahkan bala tentaranya untuk memerangi tentara
Bayazid I. Di Sivas terjadi peperangan hebat antara kedua pasukan itu.
Timur Lenk keluar sebagai pemenang dan putera Bayazid I, Erthugrul,
terbunuh dalam pertempuran tersebut. Pada tahun 1402 M terjadi
peperangan yang menentukan di Ankara. Tentara Daulah Bani Utsmani
kembali menderita kekalahan, sementara Sulthan Yildirim Bayazid I
Rahimahullah sendiri tertawan ketika hendak melarikan diri. Sulthan
Yildirim Bayazid I Rahimahullah akhirnya meninggal dalam tawanan. Timur
Lenk melanjutkan serangannya ke Bursa, ibu kota lama Turki, dan Syria.
Setelah itu ia kembali ke Samarkand untuk merencanakan invasi ke Cina.
Namun, di tengah perjalanan, tepatnya di Otrar, ia menderita sakit yang
membawa kepada kematiannya. Ia meninggal tahun 1404 M, dalam usia 71
tahun. Jenazahnya dibawa ke Samarkand untuk dimakamkan dengan upacara
kebesaran.
Timur Lenk terkenal sebagai penguasa yang sangat ganas
dan kejam terhadap para penentangnya. Ia adalah penganut Syi'ah yang
taat dan menyukai tasawuf tarekat Naqsyabandiyyah. Dalam
perjalanan-perjalanannya ia selalu membawa serta ulama-ulama syi’ah,
sastrawan dan seniman. Ulama syi’ah dan para ilmuwan dihormatinya.
Ketika berusaha menaklukkan Syria bagian utara, ia menerima dengan
hormat sejarawan terkenal, Syeikh Ibnu Khaldun Rahimahullah yang diutus
Sulthan Faraj untuk membicarakan perdamaian. Kota Samarkand diperkayanya
dengan bangunan-bangunan dan masjid yang megah dan indah. Di masa
hidupnya kota Samarkand menjadi pasar internasional, mengambil alih
kedudukan Baghdad dan Tabriz. Ia datangkan tukang-tukang yang ahli,
seniman-seniman ulung, pekerja-pekerja yang pandai dan
perancang-perancang bangunan dari negeri-negeri taklukannya; Delhi,
Damaskus dan lain-lain. Ia meningkatkan perdagangan dan industri di
negerinya dengan membuka rute-rute perdagangan yang baru antara India
dan Persia Timur. Ia berusaha mengatur administrasi pemerintahan dan
angkatan bersenjata dengan cara-cara rasional dan berjuang menyebarkan
Islam.
Setelah Timur Lenk meninggal, dua orang anaknya, Muhammad
Jehanekir dan Khalil, berperang memperebutkan kekuasaan. Khalil
(1404-1405 M) keluar sebagai pemenang. Akan tetapi, ia hidup
berfoya-foya menghabiskan kekayaan yang ditinggalkan ayahnya. Karena itu
saudaranya yang lain, Syah Rukh (1405-1447 M), merebut kekuasaan dari
tangannya. Syah Rukh berusaha mengembalikan wibawa kerajaan. Ia seorang
raja yang adil dan lemah lembut. Setelah wafat, ia diganti oleh anaknya
Ulug Beg (1447-1449 M), seorang raja yang alim dan sarjana ilmu pasti.
Namun, masa kekuasaannya tidak lama. Dua tahun setelah berkuasa ia
dibunuh oleh anaknya yang haus kekuasaan, Abdal-Latif (1449- 1450 M).
Raja besar dinasti Timuriyah yang terakhir adalah Abu Sa'id (1452-1469
M). Pada masa inilah kerajaan mulai terpecah belah. Wilayah kerajaan
yang luas itu diperebutkan oleh dua suku Turki yang baru muncul ke
permukaan, Kara Koyunlu (domba hitam) dan Ak Koyunlu (domba putih). Abu
Sa'id sendiri terbunuh ketika bertempur melawan Uzun Hasan, penguasa Ak
Koyunlu.
Masa Berkuasanya Bani Mamalik/Mamluk (Masa terakhir dari kekhalifahan Bani Abbas)
Setelah merasa memiliki kekuatan yang cukup, maka para budak dan
tentara bayaran mengambil inisiatif untuk merebut kekuasaan dari
kerajaan Ayyubiyyah yang pada masa itu merupakan kepanjangan tangan dari
Bani Abbasiyyah, hal ini disebabkan karena para penguasa Ayyubiyyah
kurang tegas dalam memimpin kerajaan. Akan tetapi Mamluk tetap
mempertahankan kekhalifahan Abbasiyyah dengan menjadikan mereka sebagai
kepala negara dan memindahkan khalifah dari baghdad ke Cairo karena
akibat serangan dari tentara tartar dan Mongol di bawah pimpinan Hulagu
Khan.